SELAMAT DATANG BLOG COWOK CAKEP

DILARANG MEROKOK RUANG BLOG INI BER AC

Senin, 14 Februari 2011

manajemen kelas


BAB VIII
SIFAT ALAT UTAMA DALAM INTERAKSI
Sebagai seorang guru seharusnya dapat melihat pelaksanaan komunikasi dan interaksi dengan muridnya, kecuali untuk hal yang snagat berkelainan, semua guru diharapkan dapat mengadakan interaksi dengan baik tanpa bantuan orang ahli (spesialis) kependidikan. Masalah komunikasi antara manusia dewasa banyak mengalami kegagalan karena semua pihak mengartikan sama apa yang dimaksudkan oleh yang lain. Soal komunikasi di sekolah lebih banyak lagi menghadapi kesulitan oleh karena masalah komunikasi ini berlangsung antara orang dewasa dengan orang yang masih harus dewasa. Perlu kita ketahui bahwa komunikasi itu bersifat khusus yaitu bersifat edukatif. Persoalannya bukan hanya menyampaikan pikiran-pikiran secara cekatan, tetapi menyampaikan pikiran-pikiran yang mendidik dengan cekatan.
Alat interaksi dapat diklasifikasikan dalam tiga golongan:
1. Pengalaman rill, yakni segenap media di dalam dunia kehidupan sehari-hari.
2. Pengalaman buatan, yakni segenap media yang sengaja diciptakan untuk mendekatkan pengertian pada pengalaman rill.
3. Pengalaman verbal, dimana bahasa adalah alat utama, baik lisan maupun tulisan.

Jenis pengalaman yang pertama, yang rill, dapat menghasilkan pengertian yang sangat teliti dan mendalam yang tidak akan dapat dicapai dengan hanya menemui pengalaman buatan ataupun dengan pengalaman verbal. Akan tetapi secara praktis tidak mungkin semua hal harus dialami secara rill; guru terikat oleh ruang dan waktu serta oleh faktor-faktor lainnya sehingga misalnya sulit untuk membawa murid secara rill mengalami kembali suasana perlawanan rakyat Aceh terhadap pemerintah penjajahan Belanda.
Oleh sebab itu, maka dipakailah pengalaman-pengalaman buatan melalui alat-alat pembantu yang khusus diciptakan untuk mendekatkan manusia (murid) pada pengalaman rill, baik dalam arti waktu, ruang, situasi maupun dalam hal-hal lainnya. Kemungkinan mempergunakan pengalaman buatan memudajkan tugas guru untuk menyusun rencana-rencana pengalaman edukatif yang dilaksanakan di sekolah. Waktu, tenaga dan ongkos dapat dihemat bila pengalaman-pengalaman buatan ini dapat mencapai taraf kenyataan yang tinggi sehingga dalam hal-hal tertentu dapat dipandang lebih baik dari pengalaman rill yang tak mudah dikontrol.
Selanjutnya alat pembantu yang utama adalah bahan rill untuk keperluan pengamatan dan demonstrasui (“realita”), yang dialami di dalam kelas, dan yang terutama menjawab pertanyaan seperti “bagaimana wujud dan fungsinya”. Kemudian kita kenal alat-alat pembantu yang khusus yang diciptakan sebagai model atau contoh dari benda-benda rill, yang sama tujuannnya di dalam pengamatan dan demonstrasi. Model-model dapat merupakan bentuk tiruan atau replika daris ebuah bangunan , dapat merupakan bahagian dari sebuah mesin (yang bergerak), dapat berupa “contoh-contoh diam”. Model kadang-kadang pula dengan sengaja dibuat menyimpang dari keadaan yang sesungguhnya, dengan meksud-maksud untuk menyederhanakan gambaran atau untuk memusatkan pengamatan murid. Untuk keperluan pelajran tertentu, telah disediakan model-model komersial, tetapi dengan bahan-bahan yang murah dan teknik yang sederhana, guru-guru dengan mudah dapat menciptakan sebahagian dari kebutuhannnya secara khusus.
Model-model sebahagian terbersar merupakan benda-benda berdimensi tiga, seringkali dipisah pula alat-alat yang berdimensi dua seperti peta, gambar-gambar grafik, bagan dan sebagainya. Di dalam menyampaikan pengalaman buatan ini seringkali kita dapat memakai alat-alat pembantu lainnya seperti televisi, proyektor, perekam suara, alat pemotret dan lain-lain. Akhirnya pengalaman buatan dapat pula diperkenalkan melalui kegiatan-kegiatan yang tidak banyak mempergunakan alat-alat pembantu, misalnya di dalam sandiwara boneka, atau sama sekali tidak membutuhkan alat-alat khusus seperti di dalam sosiodrama dan bermain peran.
Pada tingakat pengalaman verbal, kedua jenis pengalaman terdahulu dapat diintegrasikan, malahan sebenarnya pengalaman verbal ini tidak dapat dipisahkan dari dua jenis kategori yang terdahulu. Akan tetapi menyadari kenyataan dimana sebahagian terbesar dari pengalaman-pengalaman itu justru diperoleh melalui bahasa lisan dan tertulis, maka sudah sepatutnya diberikan perhatian yang khusus kepada pengalaman verbal ini.
Bahasa memiliki sifat tersendiri, dan dalam melihat bahasa itu sebagai alat utama dalam interaksi edukatif antara guru dan murid, perlu kita sadari sifat-sifat tertentu dari alat tersebut. Dalam uraian seterusnya sekaligus kami akan mengemukakan implikasi yang dihadapi oleh guru dalam mempergunakan bahasa (lisan) atau oleh penulis bahan-bahan pendidikan dalam mempergunakan bahasa tertulis.

Bahasa lisan dan tertulis sebagai alat
Setiap orang pernah mengalami membaca sebuah kalimat atau sebuah paragraf dari sebuah buku tanpa mengerti dengan jelas apa yang sebenarnya dimaksud oleh penulis buku itu. Malahan kadang-kadang kalimat atau paragraf itu tetap merupakan “buku yang penutup” baginya walaupun telah dibaca berulang-ulang. Dalam beberapa hal, masalah penanaman pengertian (yang merupakan masalah komunikasi edukatif) dapat benar-benar merupakan masalah. Bila tidak dapt terjalin komunikasi antra penulis dan pembaca secara lancar, salah satu kemungkinan sebabnya bersumber dari kesalahan pembaca, yakni misalnya karena ia mencoba membaca buku yang ditujukan pada orang-orang yang berlainan tingkat pengetahuan atau berlainan lapangan daripadanya. Dari buku-buku seperti ini, pembaca terang tidak dapat diharapkan menarik faedah yang semestinya, untuk lisan yang bersifat lanjutan itu, ada hal-hal lagi yang tidak dijelaskan oleh penulis karena dianggap sudah diketahui oleh pembaca ; atau dengan perkataan lain: penulis bertolak dari tingkat bahan apersepsi tertentu.
Dalam hal yang lain, bila komunikasi antara penulis dan pembaca atau antara pembicara dan pendengar tak dapat terjelma, ini mungkinkarena kesalahan penulis atau pembicara. Banyak penulis (pembicara) yang sebenarnya menulis buku (berbicara) untuk mereka sendiri. Kata demi kata, kalimat demi kalimat, dikemukakan dengan pengertian yang jelas baginya tetapi belum tentu dapat jelas bagi orang lain. Ia lupa untuk selalu bertanya pada diri sendiri serupa ini: “ apakah kalimat atau apakah perkataan yang saya tulis ini akan jelas artinya bagi para pembaca? Apakah pengertian yang saya meksudkan telah saya tulis secara sederhana? Cukuplah contoh-contoh yang saya berikan sehingga dapat dimengerti dlebih jelas mengenai apa yang saya maksudkan? Apakah saya perlu memberi gambar atau bagan untuk menjelaskan?” bila mana penulis gagal untuk senantiasa menempatkan diri pada situasi pembaca, dan bila mana penulis tidak memperhitungkan latar belakang pembacanya, maka besar sekali kemungkinan besar ia hanya menulis tak lain dari pada rentetan huruf-huruf dan kata-kata yang tak mewakili pengertian yang jelas bagi pembacanya. Bagaimana sebaiknya kita menciptakan komunikasi yang wajar dalam tulisan atau dalam uraian lisan kita, agaknya kan lebih mudah dimengerti bila kita perhatikan empat sifat bahasa dan kata-kata pada umumnya.

SIFAT PERKATAAN
Pertama : pengertian tidak terletak pada perkataan
Dalam usahanya mempelajari proses berfikir anak-anak, ahli psikologis dari Swiss, Piaget, memajukan pertanyaan ini pada anak-anak (laki-laki dan perempuan) dari berbagai usia: Dapatkah kiranya bulan disebut “matahari” dan matahari disebut “bulan”? tiga buah diantara jawaban-jawaban yanh khas: A (umur 7 tahun) menjawab: “ tidak, karena matahari memberi panas dan bulan memberi cahaya”. B (umur 6 tahun dan 6 bulan) menjawab: ....bulan harus menjadui bulan dan bukan matahari dan matahari harus menjadi matahari”. C (umur 9 tahun) berkata: “tidak, sebabnya adalah karena benda itu tidak lain dari matahari. Tidak dapat mempunyai nama lain”.
Begitulah biasanya jawaban anak kecil (kecenderungan ini nampak pula dalam kehidupan bangsa primitif). Mereka percaya bahwa perkataan dan benda ada,lah sama; perkataan dan arti perkataan adalah sama (identik) dan karenanya tak dapat dipisah-pisah. Tetapi orang-orang yang lebih dalam fikirannya segera akan mengakui bahwa arti dari setiap perkataan tidaklah mutlak, karena arti itu tidak hany diletakkan pada perkataan tertentu. Mereka itu dapat melihat dan menyetujui bahwa sebenarnya perkataan “bulan” dapat kita lekatkan pada pengertian benda besar dan bulat yang memberi kita panas dan cahaya pada siang hari, yakni apabila dari kita sama menerima bahwa mulai saat ini, kalau kita berkata “bulan, yang kita maksudkan adalah ‘’benda yang dulu-dulunya kita sebut matahari”.
Manusia yang berfikiran dewasa akan berbeda dengan fikiran anak-anak, akan mengakui bahwa perkataan adalah bunyi atau tanda semata-mata yang disetujui dipakai untuk menunjuk sesuatu pengertian atau benda dalam dunia ini. Setiap kata tidak lebih dari sebuah simbol daris sesuatu benda yang sebenarnya. Bangsa indonesia yang memiliki bahasa daerah yang sedemikian banyaknya tentu akan mudah sekali membenarkan kenyataan itu. Diseluruh pelosok indonesia, telh disetujui dalam pemakaian sehari-hari untuk berkata kuda apabila yang dimaksud itu adalah binatang yang sama, yang disebut oleh suku bugis anyarang, dan yang disebut oleh orang yang berbahasa inggris horse. Setiap perkataan ini dapat dipakai tanpa mengubah pengertian, selama setiap golongan sepakat untuk memakainya.
Mengapa hal ini kita anggap penting diketahui oleh guru-guru dan penulis buku-buku pendidikan?
Pertama adalah agar guru dan penulis bahan bacaan tidak akan berpendapat bahwa sesuatu perkataan yang jelas artinya bagi dia, akan dengan sendirinya jelas pula bagi pembaca. Bila penulis ini benar-benar bermaksud menciptakan komunikasi yang sebaiknya dengan golongan yang akan membaca tulisannya, ia harus mengerti jenis-jenis pengalaman dan tingkat perbendaharaan kata-kata yang mereka miliki. Tidak jarang terjadi bahwa seorang penulis , terutama penulis yang baru mulai mengadakan percobaan menulis, senang mencari dan mempergunakan perkataan yang sukar atau yang puitis kedengarannya untuk mengungkapkan buah fikiran mereka. Biasanya kegemaran untuk mempergunakan kata-kata yang seperti ini tidak besar fungsinya , kalaupun ada. Malahan sebaliknya dapat terjadi bahwa kata-kata indah dan kalimat-kalimat bersusun akan berakibat timbulnya komunikasi. Dipandang dari sudfut pembaca, hal ini dapat membahayakan oleh karena kemungkinan selalu ada bahwa pembaca akan kehilangan jalan fikiran, tak dapat mengerti maksud penulis, ataupun menjadi bingung. Tujuan bahan-bahan bacaan pelajaran sama sekali jauh dari permainan kata-kata belaka. Tujuannya tidak lain daripada menolong menanamkan pengertian-pengertian dengan mudah dan sempurna, tanpa liku-liku yang mudah menyesatkan. Karena itulah maka pada umumnya kata-kata yang sederhana dan kalimat yang sederhana merupakan alat komunikasi yang sangat baik. Untuk mendekati tujuan seorang pembicara di dalam suatu ceramah, ia harus memperoleh gambaran mengenai tingkat kecerdasan pendengarnya; begitu pula seorang penulis, harus mengetahui tingkat kecerdasan pembacanya. Hanya dengan demikian ia dapat memilih kata-kata dan bentuk-bentuk ungkapan lainnya yang serasi.

Kedua: kata-kata untuk melukiskan pengertian yang telah ada, dapat dikombinasikan untuk melukiskan pengertian-pengertian baru.
Dalam beberapa buki didaktik dan juga pada golongan guru-guru terdapat perumusan pembaca sebagai “memperoleh pengertian dari halaman yang tercetak”. Tetapi sesuai dengan apa yang telah dibicarakan di atas, perumusan ini tidak seluruhnya benar sebab perumusan ini menggambarkan kenyataan bahwa, bagi pembaca, yang lebih fundamental adalah “ memberi pengertian pada halaman yang tercetak ”. bila kita melihat perkstssn horse, tidak adalah artinya bagi kita bangsa indonesia apabila sebelum itu tidak pernah kita belajar menghubungkan perkataan itu dengan sejenis binatang tertentu yang dikenal dengan pengalaman. Tetapi apa yang sebaiknya diperbuat oleh seorang penulis apabila ia tidak dapat mengetahui dengan pasti apakah pembacanya sudah mengetahui perkataan itu? Cara seorang penulis dapat memperkenalkan dan mengejarkan perkatannya yaitu dapat ditempuh dengan dua jalan :
1. Dia kadang-kadang dapat menyediakan gambar-gambar yang dapat menjelaskan maksudnya.
2. Penulis dapat mengkaitkan perkataan-perkataan yang sudah “lama”, yakni perkataan yang sudah dikenal lebih dahulu oleh pembaca, untuk membentuk pola perkataan baru yang menimbulkan juga pengertian yang baru di dalam diri pembacanya.
Untuk menjelaskan hal itu, kita dapat membandingkan perkataan gandum dengan padi. Melalui perbandingan ini, kita dapat memperlihatkan persamaan dan perbedaan gandum dengan padi. Gandum adalah hasil yang banyak persamaannnya dengan padi, biji padi seperti juga biji padi atau beras, terdapat di ujung-ujung batang gandum yang bermula-mula berwarna hijau kemudian lama kelamaan berwarna kuning, apabila sudah sampai waktunya untuk dipotong. Beras diperoleh dengan jalan mula-mula memotong tangkai padi dari batangnya lalu kulitnya dikupas dengan jalan menggiling atau menumbuknya.
Keterangan yang semacam ini diharapkan akan membawa pengertian yang cukup baik kepada pembacanya, sebab itu adalah sebuah cara yang berguna sekali bagi penulis untuk menyampaikan konsep-konsep baru kepada pembaca ialah melalui contoh dan perbandingan-perbandingan antara benda atau proses yang lama. Perkataan-perkataan yang lama selalu dapat dirangkaikan sedemikian rupa sehingga tertanamlah sebuah perkataan baru dengan arti yang jelas.
Ketiga : perkataan adalah alat penolong yang sangat berguna untuk mengabstraksikan sesuatu aspek pengalaman.
Sebagaimana telah dije;laskan di atas bahwa pembicaraan dipusatkan pada perkataan sebagai alat yang tegas dipakai dalam menyampaikan gambaran atau pengalaman yang kongkrit. Misalnya menyampaikan gambaran rumah chalet di pegunungan Swiss, engsel-mati dan gandum. Kiranya pada tempatnya sekarang kita memalingkan perhatan pada pemakaian perkataan dalam bentuk lain: sebagai simbol sesuatu kualitas tertentu yang diketemukan dari berbagai pengalaman.
Misalnya bila kit berkata: “kemarin saya lihat motor vespa amir, model tahun 1979 berwarna abu-abu”, kita menggunakan perkataan untuk menyampaikan gambaran yang cukup kongkrit. Tetapi apabila saya berkata : “milik finansial si amir”, maka kita mengabstrakkan atau menyimpilkan sesuatu kualitas tertentu mengenai segala hak miliknya yang dapat diuangkan.
Kita masih dapat mendaki kearah abstraksi yang lebih tinggi atau pada tingkat dimana kita mengabstraksi sebuah kualitas dari berjuta-juta benda, misalnya kita berkata tentang : “alat pengangkut di Indonesia”. Di sini kita menarik sifat atau kualitas “menggerakkan barang atau orang dari sekian banyak benda seperti kereta api, becak, truk, bis, sedan, perahu, kuda, kapal terbang, gerobak dan sebagainya.
Dari sebuah kepandaian manusia,yang istimewa ialah menetapkan simbol terhadap kualitas-kualitas yang abstrak dengan jalan menciptakan perkataan yang digunakan untuk maksud tersebut. Ini merupakan sebab utama mengapa kita dapat mencapai tingkay hidup dan berfikir yang sedemikian kompleks dan mengherankan itu, sebaliknya juga, sifat kehidupan kita yang lebih kompleks dewasa ini meminta perdamaian setiap orang untuk mempergunakan perkataan-perkataan abstrak dengan tepat dan teliti. Banyak hal yang diperoleh dari pendidikan di sekolah yang terdiri dari pelajaran tentang pengertian-pengertian yang abstrak; semua itu dipergunakan dengan maksud mempermudah kita berhubungan dan saling mengerti dengan orang lain.
Pada perkataan-perkataan yang lebih kongkrit, seorang penulis dapat mempergunakan gambar-gambar atau penjelasan verbal dimana dipakai perkataan-perkataan yang kiranya sudah dikenal oleh pembaca. Tetapi berbeda dengan pengertian-pengertian yang lebih abstrak seperti kebebasan politik, daya penarik, hak asasi manusia, kebahagiaan rumah tangga, biasanya perlu memperoleh penjelasan yang lebih terurai karena pengertian-pengertian itu sebenarnya cukup kompleks. Dengan istilah-istilah yang sangat abstrak, seperti juga dengan istilah-istilah yang jauh lebih sederhana, penulis akan lebih berhasil menyampaikan maksudnya dengan jelas kepada pembaca apabila ia senantiasa memperlihatkan contoh-contoh dengan mempergunakan pengalaman, tempat, benda, dan lain-lain yang diketahuinya cukup dikenal oleh pembaca.
Dalam kehidupan sehari-hari kita dapat dengan mudah menjumpai penulis yang memakai pendekatan-pendekatan yang hampir-hampir abstrak melulu, misalnya kesadaran nasional atau identitas sosial, tanpa penjelasan yang lebih lanjut karena bagi penulis itu sendiri tidak jelas apa yang dimaksud untul dikomunikasikan dengan perkataan-perkataan itu tetap tidak pernah dijelaskan, dan pembaca terpaksa meraba-raba dalam kegelapan. Bila seorang berbicara tentang kesadaran nasional, ia bertanggung jawab untuk memberi pembacanya penjelasan atau contoh-contoh orang atau golongan yang dalam tingkah laku atau sifat yang tidak mengandung sifat-sifat kesadaran nasional. Dengan contoh yang kontras ini, penulis akan lebih mudah menjelaskan pengertian yang abstrak tersebut.
Adapun tambahan untuk contoh-contoh yang realistik dan bercermin pada pengalaman bukan saja penjelasan pengertian istilah, tetapi juga menarik perhatian pembaca pada tingkat yang tinggi serta menolong pembaca mengingatnya lebih lama. Sebab itu bila penulis memperkenalkan sebuah perkataan atau istilah yang abstrak, kemungkinan yang besar untuk memperkenalkan pengertian istilah itu sejelas-jelasnya, adalah bila ia dengan teliti menjelaskan cara-cara pemakaian istilah-istilah pokok itu. Beberapa kata yang dapat mengarahkan dan memusatkan perhatian pembaca adalah “misalnya”, “andai kata”, “bandingkan”, “ialah”. Bila kata-kata ini kita pakai dengan bijaksana, maka kekuatan tulisan kita akan memberi keuntungan dari pembacanya.

Keempat :arti kiasan dalam bahasa dapat menghidupkan pengertian, tetapi dapat juga hanya membingungkan.
Salah satu sifat bahasa yang juga perlu menjadi perhatian kita, ialah penggunaan bahasa dalam arti sebenarnya maupun dalam arti kiasan. Penggunaan bahasa dalam arti kiasan meliputi antara lain perbandingan beberapa sifat; sifat kepahlawanan banteng dengan sifat kelincahan harimau. Memang bahasa kiasan ini dapat memberi gambaran mental kepada pembacanya dengan jelas dan menarik. Dengan pilihan kiasan yang tepat, apa yang dimaksud oleh penulis dapat diterima oleh pembaca sebagai pandangan yang segar dan tajam. Akan tetapi tentu saja selalu ada bahaya bahwa pembacanya, terutama murid-murid yang belum cukup matang dalam pemikiran yang membaca penjelasan seperti itu. Mungkin tidak menyadari bahwa bahasa yang dihadapi adalah semata-mata bahasa kiasan. Oleh karena itu ada baiknya agar para penulis akan berhati-hati dalam menulis sejarah. Kesusastraan dan lain-lain bahan penuturan pembaca-pembaca yang masih muda itu. Dari pada terus berkata : “rini memang sangat cantik dan halus bila dibandingkan dengan gadis-gadis yang ada di kampung itu, sehingga timbullah kesan yang seolah-olah dia merupakan sekuntum bunga mawar yang indah dan harum ditengah-tengah gadis lain di kampung itu.
Kita dapat juga berkata bahwa “pedagang-pedagang sekarang mencekik leher”, baiklah lebih dahulu dikatakan “sekarang ini pedagang-pedagang menaikkan harga sedemikian mahal sehingga hampir-hampir tidak terbeli”, barulah diteruskan dengan “ bagi pegawai yang tidak besar gajinya, hal itu dirasa sangat mencekik leher mereka, sangat menyusahkan”. Jadi bila kita menulis bahan-bahan pendidikan, baik yang bersifat cerita maupun yang bukan, penting untuk bertanya pada diri sendiri sebagai berikut: apakah arti kiasan dan perumpamaan yang saya pakai akan benar-benar dimengerti oleh pembacanya? Apakah tak ada kemungkinan arti kiasan itu akan ditafsirkan sebagai arti sesungguhnya? Perlukah kiranya saya beri penjelasan atau tambahan untuk memudahkan pembaca mengertinya, ataukah apakah sebaiknya bahasa kiasan itu tidak saya pakai saja disini?

BAGIAN DUA
METODA-METODA INTERAKSI EDUKATIF

Metoda adalah cara, yang di dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai suatu tujuan. Makin baik metode itu, makin efektif pula pencapaian tujuan. Untuk menetapkan terlebih dahulu apakah sebuah metode dapat disebut baik, diperlukan patokan yang bersumber dari beberapa faktor. Faktor utama yang menentukan adalah tujuan yang akan dicapai.

khusus mengenai metode mengajar di dalam kelas ataupun di dalam penataran-penataran, selain dari faktor tujuan, juga faktor murid. Faktor situasi jugadan fakto r guru ikut menentukan efektif tidaknya sebuah metoda. Dengan dimiliki pengertian secara umum mengenai sifat berbagai metoda, baik mengenai kebaikan-kebaiknnya maupun mengenai kelemahan-kelemahannya, seorang guru akan lebih mudah menetapkan metode manakah yang paling serasi untuk situasi dan kondisi pengajaran yang khusus.

DAFTAR PUSTAKA

Achdiat, Maman, dkk.1980.Teori Belajar Mengajar dan Aplikasinya dalam Program Belajar-Mengajar.Jakarta: P3G-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Anderson, Lorin W.1989.The Effective Teacher.Study Guide and Reading.New York:Mcgraw-Hill Book Company.
Baker, Robert I, Schutz, Richard E.1971.Instrucsional Product Development.New York: Van Hostrand Reinhold.
Canter, L, dan M.Center.1992.Assertive Discipline.California: Lee Canter and Associates.
Chagey, William T.1981.Motivating Classroom Discipline.New York: Macmillan.
Cohen, L.Manion.1991.A.Guide A Teaching Practice.London: Routledge
Cood, Thomas L. Brophy, Jere E.1978.Looking in Classroom.New York: Harper & Row.
Cooper, James,M, dkk.1977.Classroom Teaching Skills.Lexington, Mass. D.C. Heat & Coy.
Depdikbud,1983.Pengelolaan kelas.Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Dirjen PUOD dan Dirjen Dikdasmen 1996.Pengelolaan Kelas.Seri Peningkatan Mutu 2.Jakarta: Depdagri dan Depdikbud.
Dirjen PUOD dan Dirjen Dikdasmen 1996.Pengelolaan Kelas.Seri Peningkatan Mutu 3.Jakarta: Depdagri dan Depdikbud.
Edwars, C.H.1993.Classroom Discipline and Management.New York: Macmillan Publishing Company.
Eggen, Paul D.& Don Kauchak.1994.Education Psychology: Classroom Connections. New York: Mcmillan College Publishing Company,Inc.
Jasin Muhammad.1980.Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) Sebagai suatu strategi dasar pengelolaan proses Belajar-Mengajar.FIP IKIP Manado.
Johnson, Lois V.& Mary A. Bany.1970.Classroom Management.London: The Mcmillan Company Collier MacMillan Limited.
Jones, F.H.1987.Positive Classroom Discipline.New York: McGraw-Hill Book Company.
Kindsvater, Richard.1998.Dynamic of Effective Teaching.New York: Longman.
Lindgren, H. Clay.1972.Rducational Psychology in The Classroom.New York: John Wiley & Sons.
McNeil, John D, & Jon Wiles.1990.The Essentials of Teaching.New York: Macmillan Publishing Company.
M.Entang dan T.Raka Joni.1993.Pengelolaan kelas. Jakarta: Proyek Pengembangan Pendidikan Tenaga Kependidikan Depdikbud Dirjen Pendidikan Tinggi.
Nawawi, Hadari, H.1992.Organisasi Sekolah dan Pengelolaan Kelas.Jakarta: PT Gunung Agung.
Ornstein, Allan C.1990.Strategies for Effective Teaching.New York: Harper and Row Publisher Inc.
Raka Joni.T.1980.Cara Belajar Siswa Aktif: Implikasinya Terhadap Sistem Pengajaran.Jakarta: P3G-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Raka Joni.T.1980.Pengelolaan Kelas.Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Raka Joni.T.1980.Strategi Belajar Mengajar Suatu Tinjauan Pengantar.Jakarta: P3G-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Schumuk, R dan P.A.Schumuk.1979.Group Processes in The Classroom.Lowa: William C. Brown Company.
Suharsimi Arikunto.1993.Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi.Jakarta: PT Rineka Cipta.
Tanner, L.N.1978.Classroom Discipline for Effective Teaching and Learning. New York: Holt, Rinehart.and Winston.
Turney, Clifford, dkk.1981.Anatomy Of Teaching.Sidney: Ivan Novak.
Utomo, Tjipto dan Kees Ruijter.1989.Peningkatan dan Pengembangan Pendidikan.Jakarta:PT Gramedia.
Weber, Wilford A.1986.Classroom Management.Massachusetts: De Heat and Company.
Weber, Wilford A.1993.Effective Classroom Management.Houston: Departement of Curriculum and Instruction College of Education,University of Houston.

LAMPIRAN:

SOAL-SOAL MID

A. PERNYATAAN BENAR ATAU SALAH
1. Kegiatan yang dilakukan guru di dalam kelas yakni, kegiatan mengajar dan kegiatan manajemen kelas.
2. Manajemen kelas menurut konsepsi lama merupakan proses seleksi yang menggunakan alat yang tepat terhadap masalah dan situasi manajemen kelas.
3. Manajemen kelas berasal dari kata “management” yaitu pengelolaan yang berarti proses penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran.
4. Pendekatan intimidasi berguna dalam situasi tertentu dengan menggunakan teguran ramah.
5. Pendekatan instruksional bertujuan untuk mencegah dan memecahkan masalah manajerial kelas.
6. Dimensi pencegahan (preventif), merupakan tindakan guru dalam mengatur peserta didik dan peralatan serta format pembelajaran yang tidak sehingga tidak menumbuhkan kondisi yang menguntungkan bagi berlangsungnya proses pembelajaran yang efektif dan efisien.
7. Rancangan prosedur manajemen kelas adalah serangkaian kegiatan tentang langkah-langkah pengelolaan kelas yang disusun secara sistematis berdasarkan pemikiran yang rasional, untuk proses belajar mengajar.
8. Lingkungan fisik yang menguntungkan dan memenuhi syarat tidak mendukung meningkatnya intensitas pembelajaran siswa dan tidak mempunyai pengaruh positif terhadap pencapaian tujuan pengajaran.
9. Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar terdiri atas dua, yaitu faktor intern dan faktor ekstern.
10. Kelelahan jasmani ataupun rohani tidak mempengaruhi keberhasilan dalam belajar.

B. PILIHAN GANDA
1. Di bawah ini adalah gambaran proses pengajaran, kecuali….
a. Mengidentifikasi tujuan pengajaran
b. Mendiagnose keberhasilan peserta didik
c. Mengevaluasi keberhasilan siswa
d. Menganalisis kondisi yang ada
2. Salah satu kegiatan pokok seorang guru di dalam kelas adalah….
a. Memberikan nasehat c. Mengajar
b. Menegur siswa d. Memberikan hukuman
3. Yang tidak termasuk tujuan manajemen kelas adalah….
a. Menghilangkan berbagai hambatan yang dapat menghalangi terwujudnya interaksi pembelajaran
b. Memelihara agar tugas-tugas dapat berjalan lancar
c. Membina dan membimbing peserta didik sesuai dengan latar belakang sosial, ekonomi, budaya, serta sifat-sifat individunya
d. Mewujudkan situasi dan kondisi kelas, baik lingkungan belajar maupun kelompok belajar yang memungkinkan peserta didik untuk mengembnagkan kemampuan semaksimal mungkin
4. Di bawah ini adalah strategi pendekatan otoriter, kecuali….
a. Menggunakan teguran keras
b. Menggunakan pemisahan dan pengucilan
c. Menggunakan pengendalian dengan mendekati
d. Menciptakan dan menegakkan peraturan
5. Berikut ini yang tidak termasuk bentuk-bentuk intimidasi dalam pendekatan intimidasi adalah….
a. Hukuman yang tidak kasar c. Hinaan
b. Ejekan d. Ancaman
6. Pendekatan yang mendasarkan kepada pendirian bahwa pengajaran yang dirancang dan dilaksanakan dengan cermat akan mencegah timbulnya sebagian besar masalah manajemen kelas, merupakan pengertian dari pendekatan….
a. Pendekatan Otoriter c. Pendekatan Permisif
b. Pendekatan Instruksional d. Pendekatan Buku Masak
7. Salah satu langkah-langkah prosedur dimensi penyembuhan adalah….
a. Meningkatkan kesadaran diri sebagai guru
b. Meningkatkan kesadaran diri peserta didik
c. Mengidentifikasi masalah
d. Mengenal dan alternatif pengelolaan
8. Salah satu langkah-langkah prosedur dimensi pencegahan adalah….
a. Mengidentifikasi masalah c. Mendapatkan balikan
b. Menganalisi masalah d. Peningkatan kesadaran peserta didik
9. Yang tidak termasuk kemungkinan pengaturan tempat duduk adalah….
a. Pola berderet atau berbaris berjajar c. Pola lingkaran atau persegi
b. Pola formasi tapal kuda d. Pola segitiga
10. Berikut ini yang termasuk kegiatan rutin kelas atau sekolah adalah….
a. Pergantian pelajaran
b. Guru berhalangan hadir
c. Menanyakan kesehatan dan kehadiran siswa
d. Masalah antar kelas
11. Syarat ukuran ruang kelas adalah….
a. 8 x 8 m c. 8 x 9 m
b. 8 x 7 m d.9 x 9 m
12. Pola yang menempatkan posisi guru berada di tengah-tengah para siswanya adalah….
a. Pola formasi tapal kuda c. Pola susunan berkelompok
b. Pola lingkaran persegi d. Pola berderet atau berbasis sejajar
13. Faktor ekstern yang mempengaruhi belajar adalah….
a. Faktor keluarga c. Faktor psikologis
b. Faktor jasmaniah d. Faktor kelelahan
14. Tindakan terhadap tingkah laku yang menyimpang yang sudah terlanjur terjadi agar penyimpangan tidak berlarut-larut adalah pengertian dari….
a. Dimensi pencegahan (preventif) c. Dimensi tindakan
b. Dimensi penyembuhan (kuratif) d. Dimensi penyelesaian
15. Langkah-langkah untuk menemukan dan mengenal alternatif pengelolaan berikut ini, kecuali….
a. Melakukan identifikasi berbagai penyimpangan tingkah laku peserta didik
b. Mengenal berbagai pendekatan dalam manajemen kelas
c. Melaksanakan salah satu pendekatan dalam manajemen kelas
d. Mempelajari pengalaman guru yang gagal atau yang berhasil
16. Salah satu cara untuk meningkatkan kesadaran peserta didik adalah….
a. Tidak memperhatikan kebutuhan, keinginan, dan dorongan para peserta didik
b. Tidak membiasakan memberi hukuman pada peserta didik
c. Tidak membiasakan memberi ancaman pada peserta didik
d. Memberitahukan hak dan kewajiban sebagai peserta didik
17. Ciri-ciri manajemen kelas menurut Schmuck dan Weber adalah….
a. Cara berperasaan c. Cara berfikir
b. Cara berperilaku d. Kepemimpinan
18. Alasan kelompok menjadi satu adalah….
a. Tidak ada minat terhadap pekerjaan
b. Tidak ada sikap menghargai
c. Para anggota saling menyukai satu dengan yang lainnya
d. Tidak ada sikap menghormati
19. Syarat-syarat kelas yang baik adalah….
a. Mempunyai cahaya yang banyak
b. Rapi, bersih, sehat, dan tidak lembab
c. Sirkulasi udaranya sedikit
d. Jumlah siswa lebih dari 40 orang
20. Berikut ini yang tidak termasuk sifat-sifat perencanaan adalah….
a. Rencana harus baik c. Rencana harus realitas
b. Rencana harus jelas d. Rencana harus terpadu
C. MENJODOHKAN (MENCOCOKAN)
Pasangkan setiap pernyataan di samping kiri dengan kata di samping kanan, sehingga membentuk hubungan yang bermakna.
D. ESSAY
1. Jelaskan perbedaan antara mengajar dan manajemen kelas!
2. Apakah yang dimaksud dengan manajemen kelas menurut konsepsi lama dan konsepsi modern?
3. Jelaskan tujuan manajemen kelas!
4. Apakah yang dimaksud dengan pendekatan instruksional dan pendekatan permisif?
5. Sebutkan dan jelaskan strategi yang diterapkan dalam manajemen kelas berdasarkan pendektan otoriter!
6. Sebutkan tahap pendekatan analitik pluralistik!
7. Jelaskan perbedaan dimensi preventif dan dimensi kuratif!
8. Apakah yang dimaksud dengan rancangan prosedur manajemen kelas?
9. Sebutkan bentuk-bentuk pengaturan tempat duduk!
10. Sebutkan strategi-strategi yang ditawarkan dalam manajemen kelas!
JAWABAN
A. PERNYATAAN BENAR SALAH
1. Pernyataan Benar
2. Pernyataan Salah
3. Pernyataan Benar
4. Pernyataan Salah
5. Pernyataan Benar
6. Pernyataan Salah
7. Pernyataan Benar
8. Pernyataan Salah
9. Pernyataan Benar
10. Pernyataan Salah

B. PILIHAN GANDA
1. D.Menganalisis kondisi yang ada
2. C. Mengajar
3. B. Memelihara agar tugas-tugas dapat berjalan lancar
4. A. Menggunakan teguran keras
5. A. Hukuman yang tidak kasar
6. B. Pendekatan instruksional
7. C. Mengidentifikasi masalah
8. D. Peningkatan kesadaran peserta didik
9. D. Pola segitiga
10. C. Menanyakan kesehatan dan kehadiran siswa
11. B. 8 x 7 m
12. A. Pola formasi tapal kuda
13. A. Faktor keluarga
14. B. Dimensi penyembuhan (kuratif)
15. C. Melaksanakan salah satu pendekatan dalam manajemen kelas
16. D. Memberitahukan hak dan kewajiban sebagai peserta didik
17. D. Kepemimpinan
18. C. Para anggota saling menyukai satu dengan yang lainnya
19. B. Rapi, bersih, sehat, dan tidak lembab
20. A. Rencana harus baik

C. MENJODOHKAN (MENCOCOKKAN)
Þ1. Berpasangan dengan  B
 A
Þ2. Berpasangan dengan
 D
Þ3. Berpasangan dengan
 C
Þ4. Berpasangan dengan
 F
Þ5. Berpasangan dengan
 E
Þ6. Berpasangan dengan
 H
Þ7. Berpasangan dengan
 G
Þ8. Berpasangan dengan
 J
Þ9. Berpasangan dengan
 I
Þ10. Berpasangan dengan

D. ESSAY
1. Masalah pengajaran harus ditanggulangi dengan tindakan pembelajaran sedangkan manajemen kelas harus ditanggulangi dengan tindakan yang korektif.
2. Manajemen kelas menurut konsepsi lama merupakan upaya mempertahankan ketertiban kelas.
Manajemen kelas menurut konsepsi modern yaitu proses seleksi yang menggunakan alat yang tepat terhadap masalah dan situasi manajemen kelas.
3. Tujuan manajemen kelas, yaitu:
a. Mewujudkan situasi dan kondisi kelas, baik lingkungan belajar maupun kelompok belajar yang memungkinkan peserta didik untuk mengembangkan kemampuan semaksimal mungkin,
b. Menghilangkan berbagai hambatan ynag dapat menghalangi terwujudnya interaksi pembelajaran,
c. Menyediakan dan mengatur fasilitas serta peralatan belajar yang mendukung dan memungkinkan siswa belajar sesuai dengan lingkungan sosial, emosional, dan intelektual peserta didik dalam kelas,
d. Membina dan membimbing peserta didik sesuai dengan latar belakang sosial, ekonomi, budaya, serta sifat-sifat individunya.
4. Pendekatan instruksional adalah pendekatan yang mendasarkan kepada pendirian bahwa pengajaran yang dirancang dan dilaksanakan dengan cermat akan mencegah timbulnya sebahagian besar masalah manajemen kelas.
Pendekatan permisif adalah pendekatan yang menekankan perlunya memaksimalkan kebebasan siswa.
5. Strategi yang dapat diterapkan dalam memanajemeni kelas, yaitu:
a. Menciptakan dan menegakkan peraturan adalah proses mendefinisikan dengan jelas dan spesifik harapam guru mengenai perilaku peserta didik
b. Memberikan perintah, pengarahan, dan pesan adalah strategi guru dalam mengendalikan perilaku peserta didik agar peserta didik melakukan sesuatu yang diinginkan guru
c. Menngunakan teguran ramah adalah strategi memanajemeni kelas yang digunakan guru memarahi peserta didik yang berperilaku tidak sesuai, yang melanggar peraturan dengan cara lemah lembut
d. Menggunakan pengendalian dengan mendekati adalah tindakan guru bergerak mendekati peserta didik yang dilihatnya berperilaku menyimpang. Strategi ini dimaksudkan untuk mencegah berkembangnya situasi yang mengacaukan
e. Menggunakan pemisahan dan pengucilan adalah strategi guru dalam merespon perilaku menyimpang peserta didik yang tingkat penyimpangannya cukup berat.
6. Tahap pendekatan analitik pluralistik, yaitu:
a. Menentukan kondisi kelas yang jelas
b. Menganalisis kondisi kelas yang nyata
c. Memilih dan menggunakan strategi pengelolaan
d. Menilai efektivitas pengelolaan
7. Dimensi pencegahan (preventif), merupakan tindakan guru dalam mengatur peserta didik dan peralatan serta format pembelajaran yang tetap sehingga menumbuhkan kondisi yang menuntungkan bagi berlangsungnya proses pembelajaran yang efektif dan efisien, sedangkan
Dimensi penyembuhan (kuratif), merupakan tindakan terhadap tingkah laku yang menyimpang yang sudah terlanjur terjadi agar penyimpangan tidak berlarut-larut.
8. Rancangan prosedur manajemen kelas adalah Serangkaian kegiatan tentang langkah-langkah pengelolaan kelas yang disusun secar sistematis berdasarkan pemikiran yang rasional, untuk proses belajar mengajar.
9. Beberapa bentuk pengaturan tempat duduk, yaitu:
a. Pola berderet atau berbaris-berjajar
b. Pola susunan berkelompok
c. Pola formasi tapal kuda
d. Pola lingkaran atau persegi
10. Strategi dalam manajemen kelas, yaitu:
a. Mempergunakan model
b. Mempergunakan pembentukan
c. Mempergunakan sistem hadiah
d. Mempergunakan kontrak perilaku
e. Mempergunakan jatah kelompok
f. Penguatan alternatif yang tidak serasi
g. Mempergunakan penyuluhan perilaku
h. Mempergunakan pemantauan sendiri
i. Mempergunakan isyarat
SOAL-SOAL FINAL

A. PERNYATAAN BENAR ATAU SALAH
1. Kata disiplin berasal dari bahasa latin “Disciplina” yang menunjuk pada belajar mengajar.
2. Disiplin kelas merupakan hal esensial terhadap terciptanya perilaku menyimpang dan pelanggaran di kelas.
3. Dengan disiplin, siswa dapat memahami dan menyesuaikan diri dengan tuntan lingkungan.
4. Tujuan pengaturan perilaku adalah menambah kesalahan pelaksanaan pengembangan kecakapan peserta didik.
5. Sikap guru yang demokratis merupakan kondisi bagi terbinanya kebiasaan berlaku tertib.
6. Penilaian hasil usaha guru itu perlu mengingat kenyataan bahwa hasil setiap peristiwa belajar itu adalah tidak menyeluruh, tidak bersegi banyak dan tidak kompleks.
7. Dalam pendidikan, khususnya dibidang pengajaran, selalu terdapat soal-soal terhadap mana timbul perbedaan-perbedaan pendapat yang bertentangan.
8. Dalam usaha perbaikan mutu pengajaran kita di Indonesia sudah jelas bahwa sistem yang “permissive” dapat dipertahankan.
9. Alat interaksi dapat diklarifikasikan dalam 3 golongan, yaitu pengalaman riil, pengalaman buatan, dan pengalaman verbal.
10. Arti kiasan dalam bahasa tidak dapat menghidupkan pengertian, tetapi dapat membingungkan.

B. PILIHAN GANDA
1. Keadaan tertib dalam suatu kelas yang didalamnya tergabung guru dan siswa taat kepada tata tertib yang telah ditetapkan disebut....
a. Disiplin kelas c. Peraturan
b. Disiplin sekolah d. Ketertiban
2. Disiplin pada hakikatnya adalah pernyataan sikap mental dari individu maupun masyarakat yang mencerminkan rasa ketaatan dan….
a. Kedisiplinan c. Kesopanan
b. Kepatuhan d. Keteraturan
3. Di bawah ini adalah nilai-nilai untuk memenuhi tuntutan nilai tertentu, kecuali….
a. Nilai-nilai keagamaan atau nilai-nilai kepercayaan
b. Nilai-nilai tradisional
c. Nilai-nilai objektif
d. Nilai-nilai kekuasaan
4. Yang tidak termasuk hak-hak siswa yang penting dan perlu di jamin adalah….
a. Hak berekspresi secara pribadi
b. Hak keleluasaan pribadi
c. Hak menyelesaikan studi secara cepat
d. Hak kebebasan berbicara
5. Masalah-masalah yang ditimbulkan guru yang dapat menimbulkan disiplin kelas terganggu adalah….
a. Kata-kata atau sindiran tajam yang menimbulkan rasa malu peserta didik
b. Anak yang berkeinginan berbuat segalanya dikuasai secara “sempurna”
c. Anak yang suka “membadut” untuk berbuat aneh yang semata-mata untuk menarik perhatian di kelas
d. Anak yang memiliki rasa pesimis atau putus asa terhadap semua keadaan
6. Berikut ini adalah tahapan-tahapan dalam memelihara disiplin, kecuali….
a. Pencegahan c. Pemeliharaan
b. Hukuman d. Campurtangan (Intervensi)
7. Di bawah ini adalah cara penanggulangan gangguan disiplin, kecuali….
a. Gangguan percakapan c. Pengenalan siswa
b. Gangguan menyontek d. Gangguan pengaduan
8. Untuk melihat bagaimana persepsi para siswa dalam rangka hubungan sosio-psiokologis dengan teman-temannya, merupakan tujuan dari….
a. Interest-inventory c. Pengenalan siswa
b. Feedback letter d. Sosiogram
9. Yang termasuk langkah-langkah pencegahan disiplin adalah….
a. Peduli c. Menggunakan kekerasan
b. Pemberian hukuman keras d. Tidak peduli dengan siswa
10. Berikut ini yang tidak termasuk situasi pelanggaran peserta didik adalah….
a. Siswa melanggar sejumlah peraturan sekolah yang telah disepakati bersama
b. Siswa taat pada peraturan yang telah dicantumkan
c. Seorang siswa menolak sama sekali aturan khusus yang telah tercantum dalam tata tertib sekolah
d. Siswa tidak mau menerima atau menolak konsekuensi seperti yang telah tercantum dalam peraturan sekolah sebagai akibat dari perbuatannya
11. Menghayati sesuatu actual penghayatan mana akan menimbulkan respons-respons tertentu dari pihak murid disebut….
a. Pengalaman c. Mengalami
b. Pengetahuan d. Menghadapi
12. Yang tidak termasuk bidang belajar yang menimbulkan persoalan para mahasiswa adalah….
a. Bagaimana mengikuti kuliah c. Bagaimana balajar sendiri
b. Bagaimana menelaah buku d. Bagaimana belajar kelompok
13. Kesulitan-kesulitan yang ada pada umunya dihadapi oleh peserta didik adalah….
a. Tidak cukupnya pengetahuan mereka mengenai cara-cara belajar
b. Bersikap apatis atau tidak mau peduli
c. Tidak ada keinginan untuk belajar
d. Malu-malu dalam menerima pelajaran
14. Gangguan-gangguan visual (penglihatan) dari sekolah-sekoalh diperkirakan sekitar….
a. 35% c. 50%
b. 25% d. 65%
15. Gangguan-gangguan auditif (pendengaran) mencapai persentasi setinggi….
a. 18% c. 20%
b. 19% d. 21%
16. Berikut ini adalah alat interaksi, kecuali….
a. Pengalaman riil c. Pengalaman verbal
b. Pengalaman buatan d. Pengalaman non verbal
17. Sangat teliti dan mendalam yang tidak akan dapat dicapai dengan hanya menamai pengalaman buatan maupun dengan pengalaman verbal disebut….
a. Pengalaman riil c. Pengalaman verbal
b. Pengalaman buatan d. Pengalaman non verbal
18. Dimana bahasa adalah alat utama, baik lisan maupun tetulis disebut….
a. Pengalaman riil c. Pengalaman buatan
b. Pengalaman verbal d. Pengalaman non verbal
19. Segenap media yang sengaja diciptakan untuk mendekatkan pengertian pada pengalaman riil, disebut….
a. Pengalaman verbal c. Pengalaman buatan
b. Pengalaman non verbal d. Pengalaman riil
20. Yang tidak termasuk sifat perkataan adalah….
a. Pengertian tidak terletak dalam perkataan
b. Kata-kata untuk melukiskan pengertian yang telah ada, dapat dikombinasikan untuk melukiskan pengertian baru
c. Perkataan adalah alat penolong yang sangat berguna untuk mengabstrasikan sesuatu aspek pengalaman
d. Arti kiasan dalam bahasa tidak dapat menghidupkan pengertian

C. MENJODOHKAN (MENCOCOKAN)
Pasangkan setiap pernyataan di samping kiri dengan kata di samping kanan, sehingga membentuk hubungan yang bermakna.
 
D. ESSAY
1. Jelaskan yang dimaksud dengan disiplin kelas!
2. Sikap disiplin yang dilakukan oleh seseorang sebenarnya adalah suatu tindakan untuk memenuhi tuntutan nilai tertentu. Sebutkanlah nilai-nilai tersebut!
3. Jelaskan hak siswa yang penting dan yang perlu dijamin!
4. Sebutkan tahapan-tahapan dalam memelihara disiplin!
5. Sebutkan cara penanggulangan gangguan disiplin!
6. Sebutkan bidang-bidang belajar yang menimbulkan persoalan para mahasiswa!
7. Jelaskan yang dimaksuk dengan tugas mengajar!
8. Alat interaksi dapat diklafikasikan dalam 3 golongan. Sebutkan dan jelaskan ketiga golongan tersebut!
9. Sebutkan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengalaman edukatif!
10. Mengapa sifat perkataan yakni “pengertian tidak terletak dalam perkataan”, penting diketahui oleh guru-guru dan penulis buku-buku pendidikan?
JAWABAN
A. PERNYATAAN BENAR SALAH
1. Pernyataan Benar
2. Pernyataan Salah
3. Pernyataan Benar
4. Pernyataan Salah
5. Pernyataan Benar
6. Pernyataan Salah
7. Pernyataan Benar
8. Pernyataan Salah
9. Pernyataan Benar
10. Pernyataan Salah

B. PILIHAN GANDA
1. A. Disiplin kelas
2. B. Kepatuhan
3. C. Nilai-nilai objektif
4. D. Hak kebebasan berbicara
5. A. Kata-kata atau sindiran tajam yang menimbulkan rasa malu peserta didik
6. B. Hukuman
7. C. Pengenalan siswa
8. D. Sosiogram
9. A. Peduli
10. B. Siswa taat pada peraturan yang telah dicantumkan
11. C. Mengalami
12. D. Bagaimana belajar kelompok
13. A. Tidak cukupnya pengetahuan mereka mengenai cara-cara belajar
14. B. 25%
15. C. 20%
16. D. Pengalaman non verbal
17. A. Pengalaman riil
18. B. Pengalaman verbal
19. C. Pengalaman buatan
20. D. Arti kiasan dalam bahasa tidak dapat menghidupkan pengertian

C. MENJODOHKAN (MENCOCOKKAN)
Þ1. Berpasangan dengan  F
 G
Þ2. Berpasangan dengan
 H
Þ3. Berpasangan dengan
 I
Þ4. Berpasangan dengan
 J
Þ5. Berpasangan dengan
 A
Þ6. Berpasangan dengan
 B
Þ7. Berpasangan dengan
 C
Þ8. Berpasangan dengan
 D
Þ9. Berpasangan dengan
 E
Þ10. Berpasangan dengan

D. ESSAY
1. Disiplin kelas adalah keadaan tertib dalam suatu kelas yang didalamnya tergabung guru dan siswa taat kepada tata tertib yang telah ditetapkan.
2. Sikap disiplin yang dilakukan oleh seorang guru adalah suatu tindakan untuk memenuhi tuntutan nilai:
a. Nilai-nilai keagamaan atau nilai-nilai kepercayaan
b. Nilai-nilai tradisional
c. Nilai-nilai kekuasaan
d. Nilai-nilai subjektif
e. Nilai-nilai rasional
3. Hak siswa yang penting dan yang perlu dijamin adalah:
a. Hak menyelesaikan pendidikan sebaik-baiknya
b. Hak persamaan kedudukan atau kebebasan dari diskriminasi dalam kelompok
c. Hak berekspresi secara pribadi
d. Hak keleluasaan pribadi
e. Hak menyelesaikan (studi) secara cepat
4. Tahapan-tahapan memelihara disiplin seperti berikut ini:
a. Pencegahan
b. Pemeliharaan
c. Campurtangan (intervensi)
d. Pengaturan
5. Cara penanggulangan gangguan disiplin seperti berikut ini:
a. Gangguan percakapan
b. Gangguan melempar catatan
c. Gangguan kebebasan yang berlebihan diantara siswa
d. Gangguan permusuhan diantara peserta didik atau kelompok
e. Gangguan menyontek
f. Gangguan pengaduan
g. Gangguan tabiat marah
h. Gangguan penolakan permohonan guru
i. Gangguan perpindahan situasi
6. Bidang belajar yang menimbulkan persoalan para mahasiswa seperti berikut ini:
a. Bagaimana mengikuti kuliah
b. Bagaimana menelaah buku
c. Bagaimana membuat catatan
d. Bagaimana belajar sendiri
e. Bagaimana belajar dalan regu
f. Bagaimana memakai perpustakaan
g. Bagaimana mengarang ilmiah
h. Bagaimana menghadapi ujian
7. Tugas mengajar adalah membina rangkaian pengalaman yang dapat menjadi sumbu pengetahuan dan keterampilan pelajar.
8. Alat interaksi dapat diklasifikasikan dalam tiga golongan, seperti berikut ini:
a. Pengalaman riil, yakni segenap media di dalam dunia kehidupan sehari-hari
b. Pengalaman buatan, yakni segenap media yang sengaja diciptakan untuk mendekatkan pengertian pada pengalaman riil
c. Pengalaman verbal, yakni dimana bahasa adalah alat utama, baik lisan maupun tertulis.
9. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengalaman edukatif:
a. Pengalaman edukatif tertuju pada satu hasil yang akan dicapai oleh murid
b. Pengalaman edukatif bersifat kontinu dan bersifat interaktif antara individu dengan lingkungan pengalaman itu
c. Pengalaman edukatif membantu pendewasaan yang wajar pada pihak murid
10. Agar guru dan penulis bahan bacaan tidak akan berpendapat bahwa sesuatu perkataan yang jelas artinya bagi dia, akan dengan sendirinya jelas pula bagi pembaca. Bila penulis ini benar-benar bermaksud menciptakan komunikasi yang sebaiknya dengan golongan yang akan menjadi pembaca tulisannya, ia harus mengerti jenis-jenis pengalaman dan tingkat perbendaharaan kata-kata yang mereka miliki.
read more “manajemen kelas”

manajemen kelas

BAB VII
MURID DI DALAM PROSES BELAJAR
Latar Belakang
Metodologi pengajaran yang modern menerapkan hasil-hasil penemuan terakhir dari psikologi belajar. Karena itu, seorang guru yang serius pasti akan mendalami persoalan-persoalan psikologi belajar dan implikasinya di dalam menjalankan tugas sehari-hari. Pengetahuan serupa ini sangat besar manfaatnya secara praktis. Sebab itu, di dalam bab ini akan dikemukakan beberapa persoalan ynag akan memberi pengertian lebih dalam mengenai metedologi pengajaran.
Tujuan
Seorang ahli psikologi bertugas menemukan fakta atau unsur-unsur pokok dari proses belajar, mengenai hubungannnya dengan dasar-dasar psikologik serta pola-pola yang berlaku di dalam proses itu. Seorang ahli pendidikan lebih mengutamakan metode serta kondisi yang mempertinggi efisiensi belajar. Untuk ini dia akan memperhatikan tujuan belajar. Belajar diajukan pada (1) pengumpulan pengetahuan, (2) penanaman konsep dan kecekatan, serta (3) pembentukan sikap dan perbuatan.
Ada segolongan orang yang berpendapat bahwa belajar merupakan proses pertumbuhan yang di hasilkan oleh perhubungan berkondisi antara stimulus dan respons. Bagi seorang behaviors, belajar pada dasarnya adalah menghubungkan sebuah respons tertentu pada sebuah stimulus yang tadinya tidak berhubungan. Respons tertentu kemudian itu diperkuat ikatannya melalui berjenis-jenis cara yang berkondisi. Bagi seorang penganut teori Gestalt, hakekat belajar adalah adalah penemuan hubungan unsur-unsur di dalam ikatan keseluruhan. Penemuan yang lebih maju memperluas pengertian belajar yang secara ringkas dapat dikemukakan dalam sedikitnya lima karakteristik atau sifat sebagai berikut:
A. Belajar Terjadi Dalam Situasi Yang Berarti Secara Individual
Belajar sebagai proses perubahan tingkah laku telah ditegaskan dalam ceramah yang lalu sebagai proses yang terjadi di dalam satu situasi, bukan di dalam satu ruang hampa. Situasi belajar ini ditandai dengan adanya motif-motif yang ditetapkan dan atau diterima oleh murid. Kadang-kadang satu proses belajar tidak dapat mencapai hasil maksimal disebabkan oleh karena ketiadaan kekuatan yang mendorong ini (motivasi). Dalam hal inilah perlunya guru memasukkan motivasi di dalam cara-cara mengajarnya.

B. Motivasi Sebagai Daya Penggerak
Motivasi yang sehat perlu ditumbuhkan secara integral di dalam dunia belajar itu, yakni diambil dari dalam sistem nilai lingkungan hidup murid itu dan diyujukan pada penjelasan tugas-tugas perkembangan murid. Motivasi ynag mempunyai daya penggerak yang sanagt besar biasanya adalah motivasi ynag bersifat intrinsic. Bilamana siswa melihat dengan jelas hubungan tujuan dan atau motif perbuatan belajarnya itu dengan satu sistem nilai dan tugas-tugas perkembangannya, maka ia akan cukup ulet menghadapi kesulitan-kesulitan, rintangan-rintangan dan situasi-situasi yang kurang menyenangkan. Motivasi dapat diaksentuasi dari sudut kebutuhan murid.

C. Hasil Pelajaran Adalah Kebulatan Pola Tingkah Laku
Apabila usaha murid telah menghasilkan pola tingkah laku yang dituju semula, proses belajar dapat dikatakan mencapai titik akhir smentara. Pola tingkah laku tersebut terlihat pada perbuatan reaksi dan sikap murid secara fisik maupun mental. Bersamaan dengan hasil utama itu terjadi bermacam-macam proses mengiring yang juga menghasilkan “tambahan” perubahan tingkah laku, sehingga akhirnya terdapat satu kesatuan yang menyeluruh. Hal ini menjelaskan bahwa hasil belajar itu tidak pernah terpisah-pisah. Hasil yang dicapai lebih kemudian akan mendapatkan tempat di dalam perbendaharaan pengetahuan murid, dan setiap penambahan akan mempengaruhi struktur pembendaharaan itu secara menyeluruhn lagi.

D. Murid Menghadapi Situasi Secara Pribadi
Tiap situasi belajar akan dihadapi secara utuh oleh orang yang belajar sebagai individu yang utuh pula. Dia tidak dapat melepaskan diri dari situasi lingkungannya dan diapun tidak mungkin dapat mengisolasi sebagian dari pribadinya. Karena itu perlu diberikan tempat yang cukup kepada pentingnya arti situasi itu bagi setiap pelajar secara pribadi. Setiap manusia mempunyai cara memandang pada setiap persoalan, dan tidak akan mungkin seluruhnya sama dengan cara memandang manusia lainnya. Manusia hanya akan memperlihatkan reaksi (kesenangan, kebencian, dan lain-lain) tertentu terhadap aspek hidup yang mempunyai makna tertentu baginya. Karena sangat sulit sekiranya munhkin untuk menanamkan satu sistem persepsi hidup yang homogeny dan absolute bagi setiap manusia.

E. Belajara Adalah Mengalami
Mengalami berarti menghayati sesuatu actual penghayatan mana akan menimbulkan respons-respons tertentu dari pihak murid. Pengalaman yang berupa pelajaran akan menghasilkan perubahan (pematangan, pendewasaan) pola tingkah laku, perubahan, didalam sistem nilai, di dalam perbendaharaan konsep-konsep (pengertian), serta di dalam kekayaan informasi.

Sebab itu tugas mengajar adalah membina rangkaian pengalaman yang dapat menjadi sumber pengetahuan dan keterampilan pelajar. Pengalaman tersebut tidak selalu dapat dilalui secara riil, sehingga kadang-kadang perlu diciptakan situasi “buatan”. Pengalaman jenis pertama pada umumnya lebih baik dari pada jenis kedua, tetapi hal ini tidak mutlak kedua-duanya melengkapi satu sama lain, dan efektifitasnya dapat dipertinggi melalui berbagai jalan. Bila tidak demikian, maka pengalaman-pengalaman itu mungkin sulit disebut pengalaman edukatif, perlu diperhatikan bahwa:
1. Pengalaman edukatif tertuju pada satu hasil yang akan dicapai oleh murid,
2. Pengalaman edukatif bersifat kontinu dan bersifat interaktif antara individu dengan lingkungan pengalaman itu,
3. Pengalaman edukatif membantu pendewasaan yang wajar pada pihak murid.

Beberapa Implikasi
Sudah jelas bahwa proses belajar tidak dapat semata-mata disamakan dengan menghafal, dan karenanya hasil pelajaran tidak dapat dievaluasi semata-mata atas dasar kemampuan reproduktif murid.
Lagi pula proses belajar tidak dapat dipisah-pisah peristiwanya. Fakta tidak dapat diajarkan tersendiri, keterampilan pun tidak dapat diajarkan bila dihubungkan dengan arti keterampilan itu dalam rangka yang lebih luas. Bila tidak, maka pelajar akan dihadapkan dengan sistem mengajar verbalistik. Bila telah disadari trujuan yang akan dicapai sangatlah penting bahwa guru dan (pelajar) melalui cara-cara mengajar dan (belajar) yang paling wajar untuk mencapai tujuan itu. Untuk setiap jenis tujuan, di dalam setiap situasi edukatif, terhadap setiap pelajar, dibutuhkan pemikiran yang matang mengenai metode yang akan dipakai oleh setiap guru.
Penilaian hasil usaha guru itu perlu mengingat kenyataan bahwa hasil setiap peristiwa belajar itu adalah menyeluruh, bersegi banyak dan kompleks.
Karena itu perlu diperhatikan untuk tidak mencampurkan baurkan peristiwa belajar dengan hasil belajar.
Untuk memperoleh pengertian mengenai kompleksnya proses belajar dan implikasinya bagi seorang guru, cukup kita melihat satu aspek saja ialah kenyataan adanya unsur emosi pada setiap manusia yang tidak mungkin ditiadakan sepanjang hayat manusia, termasuk apabila ia sedang dalam proses belajar.

Metodologik Adanya Unsur Emosi Dalam Proses Belajar
Dalam pendidikan, khususnya di bidang pengajaran, selalu terdapat soal-soal terhadap mana timbul perbedaan-perbedaan pendapat yang bertentangan. Salah satu dari soal yang merupakan dilema selama sekian lama ialah apakah pengajaran itu perlu memasukkan unsur emosi sebagai unsur pokok, ataukah perlu menyampingkannya, dengan semata-mata menekankan pada unsur rasio atau kekuatan penalaran. Hal ini sesuai denagn perbedaan pendapat yang terdapat dalam psikologi belajar, yakni apakah proses belajar itu dihambat ataukah dipercepat denagn adanya emosi.
Di satu pihak dapat dikemukakan pendirian yang pada umumnya tidak melihat faedahnya unsur emosi dalam proses belajar mengajar, karena menurut pendapat ini, proses kemampuan intelektual perlu dibedakan dan dipisahkan dari proses emosional. Bukan saja adanya unsur emosi tidak dibenarkan, tetapi juga ada kecenderungan kearah menekan unsur emosi itu. Sejak dalam abad pertengahan di Eropa nampak pengajaran-pengajaran formal dilakukan ditempat-tempat yang bersuasana tak beremosi, karena pengertian proses belajar adalah identik dengan kegiatan intelek, atau penggunaan daya kognitif.
Tradisi pengajaran di Indonesia tidak banyak bedanya dengan praktek abad-abad pertengahan itu. Memang golongan ini dapat menunjukkan bahwa kegagalan di sekolah, gangguan-gangguan yang tergolong abnormalitas dalam kategori psikologi perkembangan, tetapi juga golongan dalam bentuk frustasi, kemarahan, tekanan persaingan dan ketegangan-ketegangan dalam masa kritik, semuanya ini merupakan faktor pengganggu terhadap hasil akademik atau prestasi skolastik. Ditingkatan yang lebih lanjut, misalnya di Universitas ternyata bahwa ketegangan emosional ialah faktor yang menentukan prestasi skolastik para mahasiswa.
Di lain pihak, ada golongan yang berpendapat bahawa kegagalan guru-guru menjalankan tugas adalah karena mereka tak mampu menyadari dan mewujudkan prinsip bahwa prose belajar secara fundamental adalah proses kejiwaan yang sangat penuh dengan larutan emosi. Bagi golongan ini, belajar adalah satu kegiatan yang memerlukan segenap kehidupan seseorang, jadi bukan saja terbatas pada segi kognitif, tetapi juga segi afektif atau segi emosi. Proses belajar yang paling bersahaja sekalipun mengandung segala langkah yang berporos emosi, dimulai dari sejenis rasa tegang kegembiraan menghadapi kemungkinan sesuatu hasil (atau rasa tegang kecemasan menghadapi kemungkinan kegagalan), kesituasi kritik dalam menjatuhkan pilihan. Sampai pada waktu keredaan yang disertai dengan lega. Walupun mungkin pertentangan pendapat ini tidak terlalu menampak dalam praktek, dan lebih kurang terasa atau kurang nampak di Indonesia karena belum cukupnya cara-cara tertentu untuk mendalami soal ini serta membawanya ke dalam forum yang luas, tidaklah berarti bahwa soal ini tidak terdapat di dalam praktek. Dalam kesempatan ini kami akan mengemukakan beberapa penemuan dari bidang psikologi, dan mencoba menarik pelajaran yang berguna untuk menyempurnakan asas-asas didaktik, khususnya di bidang metedologi pengajaran.
Pada permulaan pergantian abad 20 ini, beberapa ahli sudah mulai menpercakapkan faktor emosi dalam proses belajar, yang umumnya mnyimpulkan pentingnya faktor tersebut. Malahan secar eksperimental telah dilakukan penyelidikan di bidang ini. Dikemukakan bahwa adanya unsur emosi yang berbentuk negatife pun (dalam hal ini hukuman) dapat mempertinggi prestasi belajar. Beberapa penyelidikan kemudian memperkuat dan memperhalus pendapat yang terdahulu dengan mengatakan bahwa bila kadar emosi melewati garis kritik, maka pengaruhnya akan berbalik menghambat proses belajar. Kemudian timbul bermacam-macam teori mengenai emosi, antara lain yang dikenal sebagai “activation theory” yang menunjukkan bahwa kehadiran emosi dalam kegiatan-kegiatan manusia adalah satu hal tak terelakan, justru karena emosi merupakan ukuran kegiatan suasana urat saraf terutama dari cerebal cortex. Juga hasil-hasil penyelidikan yang bersangkut paut dengan metodologi belajar mengajar akan kami perkatakan disini.
Pengamatan beberapa penyelidik pada cara anak kecil, hewan sera suku-suku primitive mneghadapi soal yang baru atau barang yang aneh, memberikan petunjuk akan adanya kenaikan dalam ketegangan emosional,terutama bila soal yang baru atau barang yang aneh itu tiba-tiba berubah di luar dugaan. Dalam saat-saat seperti ini dapat terjadi bahwa subyek malahan memperlihatkan reaksi impulsive yang tak terelakan, sehingga mengganggu usaha-usaha belajar yang positif. Karena pendapat-pendapat serupa ini, timbul persoalan sampai dimana emosi itu berdaya guna bagi proses belajar. Di satu pihak ada orang yang berpendapat bahwa ketegangan emosional itu berpengaruh negative bagi hasil pelajaran, misalnya menghambat kemampuan berfikir silogistik. Pendapat serupa ini banyak berkembang selama tahun-tahun 50-an. Begitu juga dalam 10 tahun terakhir ini. Dilain pihak, dalam waktu yang hampir sama, dapat pula ditemukan bukti-bukti yang membenarkan pengaruh unsur emosi pada proses belajar.
Tak perlu kiranya kami paparkan lebih lanjut soal ini, cukup di simpulkan bahwa pada umumnya, hasil-hasil penyelidikan menunjukkan adanya pengaruh detrimental atau yang melumpuhkan dengan adanya ketegangan emosional pada proses belajar, bila ketegangan itu mencapai taraf kritik tertentu. Baiklah kita pusatkan saja perhatian pada nilai-nilai hasil penyelidikan itu bagi seorang guru.
Karena telah diketahui adanya kenyataan bahwa bila seorang murid menghadapi masalah-masalah baru yang harus di pecahkan akan timbul kadar emosi pada dirinya, yang kemudian dapat mempengaruhi hasil proses belajarnya, maka timbul pertanyaan sampai dimanakah seorang guru perlu mengisabkan unsur emosi itu di dalam metode yang dipakainnya. Teori motivasi telah menunjukkan bahwa motif-motif itu, baik instrinsik maupun ekstrinsik, perlu digunakan untuk menggerakkan seseorang. Tetapi motif-motif itu dapat dipergunakan secara positif, dapat pula secara negatife, misalnya dalam bentuk hukuman, “santic” deprivasi dan lain-lain cara pendekatan yang sejenis. Yang terakhir ini menjadi persoalan yang lebih khusus, sebab bila ini dapat dibenarkan, maka pertanyaan selanjutnya yang akan timbul adalah sampai dimanakah metode itu (baik dalam fase perumusan tujuan, dalam fase pelaksanaan, maupun dalam fase evaluasi metode itu) perlu menimbulkan ketegangan emosional atau frustasi yang bertujuan sebagai pengaruh yang memberi daya guna. Pengalaman-pengalaman kami sendiri dalam menyelidiki berbagai pendekatan yang telah dilakukan di bidang ini hanya dapat sampai pada satu anggapan yang umum, yakni bersifat “negatife”senantiasa mungkin ada di dalam proses belajar sebab dalam proses belajar itu sendiri terdapat tujuan belajar, sedangkan di dalam usaha mencap[ai tujuan itu senantiasa terdapat dua kemungkinan, yakni berhasil (positif) atau kurang/tidak berhasil (negatife). Sebab itu kami simpulkan pula secra umum bahwa bila motif yang negatife perlu dipergunakan sebagai unsur dalam metode yang dipakai, maka motif dapat secara potensial di terima dan dipahami oleh pelajar.
Secara konkret dapat dijelaskan demikian. Bila pelajar menghadapi satu soal, maka soal itu dihadapinya tidak semata-mata dari sudut “pemikiran” (dalil apa dan bagaimana mempergunakannya untuk memecahkan soal itu), tetapi juga dari sudut “perasaan” (konsep diri, ukuran kemampuan, tingkat aspirasi, harapan-harapan prestasi).
Apakah artinya bila pada pelajar kita berikan soal-soal yang berada di luar kemampuan potensialnya untuk dipecahkan?
Secara metodologik ini berarti:
1. Bahwa kita menempatkan tujuan khusus intermediary yang tidak realistic,
2. Bahwa kita mempergunakan bahan dan materi (dalam arti yang luas) yang tidak wajar.
Karena telah diketahui adanya kenyataan bahwa bila seorang murid menghadapi masalah-masalah baru yang harus dipecahkan akan timbul kadar emosi pada dirinya, yang kemudian dapat mempengaruhi hasil proses belajarnya, maka timbul pertanyaan sampai dimanakah seorang guru perlu mengisabkan unsur emosi itu di dalam metode yang dipakainya. Teori motivasi telah menunjukkan bahwa motif-motif itu, baik instrinsik maupun ekstrinsik, perlu digunakan untuk menggerakkan seseorang. Tetapi motif-motif itu dapat dipergunakan secara positif, dapat pula secara negatife, misalnya dalam bentuk hukuman, “santic” deprivasi dan lain-lain cara pendekatan yang sejenis. Yang terakhir ini menjadi persoalan yang lebih khusus, sebab bila ini dapat dibenarkan, maka pertanyaan selanjutnya yang akan timbul adalah sampai dimanakah metode itu (baik dalam fase perumusan tujuan, dalam fase pelaksanaan, maupun dalam fase evaluasi metode itu) perlu menimbulkan ketegangan emosional atau frustasi yang bertujuan sebagai pengaruh yang memberi daya guna.
Pengalaman-pengalaman kami sendiri dalam menyelidiki berbagai pendekatan yang telah dilakukan di bidang ini hanya dapat sampai pada satu anggapan yang umum, yakni bersifat “negatife”senantiasa mungkin ada di dalam proses belajar sebab dalam proses belajar itu sendiri terdapat tujuan belajar, sedangkan di dalam usaha mencap[ai tujuan itu senantiasa terdapat dua kemungkinan, yakni berhasil (positif) atau kurang/tidak berhasil (negatife). Sebab itu kami simpulkan pula secra umum bahwa bila motif yang negatife perlu dipergunakan sebagai unsur dalam metode yang dipakai, maka motif dapat secara potensial di terima dan dipahami oleh pelajar.
Metode yang dipakai di sekolah-sekolah kita umumnya adalah metode otoriter, metode yang mudah membunuh tunas-tunas pada para pelajar untuk hidup sebagai pribadi-pribadi yang gembira menghadapi pelajaran.
Secara konkret dapat dijelaskan demikian. Bila pelajar menghadapi satu soal, maka soal itu dihadapinya tidak semata-mata dari sudut “pemikiran” (dalil apa dan bagaimana mempergunakannya untuk memecahkan soal itu), tetapi juga dari sudut “perasaan” (konsep diri, ukuran kemampuan, tingkat aspirasi, harapan-harapan prestasi). Kenyataan dan kebenaran yang begitu jelas, yang masih terlalu seringkali dilupakan adalah metodoligi pengajaran faktor manusia yang bertumbuh. Kegagalan guru yang memahami manusia yang tumbuh ditinjau dari sudut kebutuhan-kebutuhannya akan menimbulkan berbagai kesulitan di dalam perkembangan dan kesehatan pribadi murid.

Peristiwa Belajar
Belajar dapat dipandang sebagai hasil, dimana guru terutama melihat bentuk terakhir dari berbagai pengalaman interaksi edukatif. Yang diperhatikan adalah nampaknya sifat dan tanda-tanda tingkah laku yang dipelajari. Dari situlah timbulnya klasifikasi hasil yang perlu dimiliki oleh seorang murid, seperti hasil dalam bentuk keterampilan, dalam bentuk konsep-konsep, dan dalam bentuk sikap.
Pada permulaan pergantian abad 20 ini, beberapa ahli sudah mulai menpercakapkan faktor emosi dalam proses belajar, yang umumnya mnyimpulkan pentingnya faktor tersebut. Malahan secar eksperimental telah dilakukan penyelidikan di bidang ini. Dikemukakan bahwa adanya unsur emosi yang berbentuk negatife pun (dalam hal ini hukuman) dapat mempertinggi prestasi belajar. Beberapa penyelidikan kemudian memperkuat dan memperhalus pendapat yang terdahulu dengan mengatakan bahwa bila kadar emosi melewati garis kritik, maka pengaruhnya akan berbalik menghambat proses belajar. Kemudian timbul bermacam-macam teori mengenai emosi, antara lain yang dikenal sebagai “activation theory” yang menunjukkan bahwa kehadiran emosi dalam kegiatan-kegiatan manusia adalah satu hal tak terelakan, justru karena emosi merupakan ukuran kegiatan suasana urat saraf terutama dari cerebal cortex. Juga hasil-hasil penyelidikan yang bersangkut paut dengan metodologi belajar mengajar akan kami perkatakan disini.
Pengamatan beberapa penyelidik pada cara anak kecil, hewan sera suku-suku primitive mneghadapi soal yang baru atau barang yang aneh, memberikan petunjuk akan adanya kenaikan dalam ketegangan emosional,terutama bila soal yang baru atau barang yang aneh itu tiba-tiba berubah di luar dugaan. Dalam saat-saat seperti ini dapat terjadi bahwa subyek malahan memperlihatkan reaksi impulsive yang tak terelakan, sehingga mengganggu usaha-usaha belajar yang positif. Karena pendapat-pendapat serupa ini, timbul persoalan sampai dimana emosi itu berdaya guna bagi proses belajar. Di satu pihak ada orang yang berpendapat bahwa ketegangan emosional itu berpengaruh negative bagi hasil pelajaran, misalnya menghambat kemampuan berfikir silogistik. Pendapat serupa ini banyak berkembang selama tahun-tahun 50-an. Begitu juga dalam 10 tahun terakhir ini. Dilain pihak, dalam waktu yang hampir sama, dapat pula ditemukan bukti-bukti yang membenarkan pengaruh unsur emosi pada proses belajar.
Tak perlu kiranya kami paparkan lebih lanjut soal ini, cukup di simpulkan bahwa pada umumnya, hasil-hasil penyelidikan menunjukkan adanya pengaruh detrimental atau yang melumpuhkan dengan adanya ketegangan emosional pada proses belajar, bila ketegangan itu mencapai taraf kritik tertentu. Baiklah kita pusatkan saja perhatian pada nilai-nilai hasil penyelidikan itu bagi seorang guru.
Pertama dilihat bahwa murid itu sendiri harus menjadi unsur dari situasi, dalam arti bahwa unsur (murid) tersebut menerima rangsangan dari lingkungannya, yang dapat menimbulkan suatu tingkat kesadaran kebutuhan. Unsur kedua adalah tujuan yang apabila akan tercapai akan menimbulkan rasa keberhasilan dari murid. Unsur ketiga adalah motif yang merupakan daya penggerak untuk berhasil, murid yang mempunyai motivasi adalah murid yang telah memiliki satu keadaan dan kesiapan mental seperlunya untuk menggerakkan dirinya ke dalam kegiatan yang bertujuan.
Dalam pendidikan, khususnya di bidang pengajaran, selalu terdapat soal-soal terhadap mana timbul perbedaan-perbedaan pendapat yang bertentangan. Salah satu dari soal yang merupakan dilema selama sekian lama ialah apakah pengajaran itu perlu memasukkan unsur emosi sebagai unsur pokok, ataukah perlu menyampingkannya, dengan semata-mata menekankan pada unsur rasio atau kekuatan penalaran. Hal ini sesuai denagn perbedaan pendapat yang terdapat dalam psikologi belajar, yakni apakah proses belajar itu dihambat ataukah dipercepat denagn adanya emosi.
Di satu pihak dapat dikemukakan pendirian yang pada umumnya tidak melihat faedahnya unsur emosi dalam proses belajar mengajar, karena menurut pendapat ini, proses kemampuan intelektual perlu dibedakan dan dipisahkan dari proses emosional. Bukan saja adanya unsur emosi tidak dibenarkan, tetapi juga ada kecenderungan kearah menekan unsur emosi itu. Sejak dalam abad pertengahan di Eropa nampak pengajaran-pengajaran formal dilakukan ditempat-tempat yang bersuasana tak beremosi, karena pengertian proses belajar adalah identik dengan kegiatan intelek, atau penggunaan daya kognitif.
Gangguan visual di sekolah-sekolah diperkirakan sekitar dua puluh lima persen dari murid-murid biasa, yang biasanya tidak mudah diketahui karna tidak nyata karna kebutaan. diantara yang perlu diperhatikan adalah buta warna, hipermetrokia (mata jauh), myopia (mata dekat), astigmatismus (kekaburan penglihatan karna keadaan lesa mata), dan strabismus (mata juling). Gangguan fisual ynag tak nampak sering kali disertai dengan gejala-gejala pusing, mual, sakit kepala, malas, danj kehilangan konsentrasi pada pelajaran.
Sering kali murid harus mencobakan beberapa respon. Dari jumlahg respon itu nanti ada yang dipakai terus dan diperkuat, ada pula yang diabaikan saja dan disisihkan seterusnya. Usaha yang tidak membawa hasil akan menimbulkkan prustasi atau kejiwaan yang bersifat dissonan (bernada sumbang), kadang untuk sementara atau jangkla panjang.

Kesulitan-Kesulitan Umum
Kesulitan-kesulotan yang ada pada umumnya dihadapi oleh orang yang belajar adalah tidak cukupnya pengetahuan mereka mengenai cara-cara belajar. Tanpa menghilangkan kemungkina kesulitan belajar yang disebabkan oleh suatu atau oleh perpaduan beberapa faktor yang telah disebut terdahulu, salah satu bidang yang ternyatas perlu diperhatikan guru agar interaksi dapat benar-benar berjalan dengan lancar adalah : menanamkan kebiasaan pada murid-murid agar mereka memilki keterampilan untuk belajar.
Cara-cara mengajar harus dapat tumbuh menjadi kebiasaan yang fungsional, dan untuk menumbuhkan sampai pada taraf itu, guru harus membingbing murid-muridnya menguasai keterampilan-keterampilan seperti membaca buku, mempergunakan kamus dan peta, teknik bertukar pikiran, membuat catatan, dan lain sebagainya.
Pertama dilihat bahwa murid itu sendiri harus menjadi unsur dari situasi, dalam arti bahwa unsur (murid) tersebut menerima rangsangan dari lingkungannya, yang dapat menimbulkan suatu tingkat kesadaran kebutuhan. Unsur kedua adalah tujuan yang apabila tercapai akan menimbulkan rasa keberhasilan dari murid. Unsur ketiga adalah motif yang merupakan daya penggerak untuk berhasil, murid yang mempunyai motivasi adalah murid yang telah memiliki satu keadaan dan kesiapan mental seperlunya untuk menggerakkan dirinya ke dalam kegiatan yang bertujuan.
Dalam pendidikan, khususnya di bidang pengajaran, selalu terdapat soal-soal terhadap mana rimbul perbedaan-perbedaan pendapat yang bertentangan. Salah satu dari soal yang merupakan dilema selama sekian lama ialah apakah pengajaran itu perlu memasukkan unsur emosi sebagai unsur pokok, ataukah perlu menyampingkannya, dengan semata-mata menekankan pada unsur rasio atau kekuatan penalaran. Cara-cara mengajar harus dapat tumbuh menjadi kebiasaan yang fungsional, dan untuk menumbuhkan sampai pada taraf itu, guru harus membimbing murid-muridnya menguasai keterampilan-keterampilan seperti membaca buku, mempergunakan kamus dan peta, teknik bertukar pikiran, membuat catatan, dan lain sebagainya. Penelitian yang banyak kami lakukan memberikan kesimpulan bahwa sedikitnya terdapat delapan bidang belajar yang menimbulkan persoalan para mahasiswa. Bidang itu adalah:
1. Bagaimana mengikuti kuliah,
2. Bagaimana menelaah buku,
3. Bagaimana membuat catatan,
4. Bagaimana belajar sendiri,
5. Bagaimana belajar dalam regu,
6. Bagaimana memakai perpustakaan,
7. Bagaimana mengarang ilmiah,
8. Bagaimana menghadapi ujian.
Bukan tidak mungkin bahwa hasil interaksi edukatif akan dilipat gandakan apabila pada murid telah terdapat alat-alat yang fungsional untuk membantu mereka mengolah dan mengkonsolidasikan pengalaman-pengalaman edukatif mereka. Baikalh disadari sekali lagi bahwa juga dalam hal ini diperhitungkan adanya perbedaan-perbedaan individual dikalangan anak didik.

read more “manajemen kelas”