SELAMAT DATANG BLOG COWOK CAKEP

DILARANG MEROKOK RUANG BLOG INI BER AC

Senin, 14 Februari 2011

manajemen kelas

BAB VII
MURID DI DALAM PROSES BELAJAR
Latar Belakang
Metodologi pengajaran yang modern menerapkan hasil-hasil penemuan terakhir dari psikologi belajar. Karena itu, seorang guru yang serius pasti akan mendalami persoalan-persoalan psikologi belajar dan implikasinya di dalam menjalankan tugas sehari-hari. Pengetahuan serupa ini sangat besar manfaatnya secara praktis. Sebab itu, di dalam bab ini akan dikemukakan beberapa persoalan ynag akan memberi pengertian lebih dalam mengenai metedologi pengajaran.
Tujuan
Seorang ahli psikologi bertugas menemukan fakta atau unsur-unsur pokok dari proses belajar, mengenai hubungannnya dengan dasar-dasar psikologik serta pola-pola yang berlaku di dalam proses itu. Seorang ahli pendidikan lebih mengutamakan metode serta kondisi yang mempertinggi efisiensi belajar. Untuk ini dia akan memperhatikan tujuan belajar. Belajar diajukan pada (1) pengumpulan pengetahuan, (2) penanaman konsep dan kecekatan, serta (3) pembentukan sikap dan perbuatan.
Ada segolongan orang yang berpendapat bahwa belajar merupakan proses pertumbuhan yang di hasilkan oleh perhubungan berkondisi antara stimulus dan respons. Bagi seorang behaviors, belajar pada dasarnya adalah menghubungkan sebuah respons tertentu pada sebuah stimulus yang tadinya tidak berhubungan. Respons tertentu kemudian itu diperkuat ikatannya melalui berjenis-jenis cara yang berkondisi. Bagi seorang penganut teori Gestalt, hakekat belajar adalah adalah penemuan hubungan unsur-unsur di dalam ikatan keseluruhan. Penemuan yang lebih maju memperluas pengertian belajar yang secara ringkas dapat dikemukakan dalam sedikitnya lima karakteristik atau sifat sebagai berikut:
A. Belajar Terjadi Dalam Situasi Yang Berarti Secara Individual
Belajar sebagai proses perubahan tingkah laku telah ditegaskan dalam ceramah yang lalu sebagai proses yang terjadi di dalam satu situasi, bukan di dalam satu ruang hampa. Situasi belajar ini ditandai dengan adanya motif-motif yang ditetapkan dan atau diterima oleh murid. Kadang-kadang satu proses belajar tidak dapat mencapai hasil maksimal disebabkan oleh karena ketiadaan kekuatan yang mendorong ini (motivasi). Dalam hal inilah perlunya guru memasukkan motivasi di dalam cara-cara mengajarnya.

B. Motivasi Sebagai Daya Penggerak
Motivasi yang sehat perlu ditumbuhkan secara integral di dalam dunia belajar itu, yakni diambil dari dalam sistem nilai lingkungan hidup murid itu dan diyujukan pada penjelasan tugas-tugas perkembangan murid. Motivasi ynag mempunyai daya penggerak yang sanagt besar biasanya adalah motivasi ynag bersifat intrinsic. Bilamana siswa melihat dengan jelas hubungan tujuan dan atau motif perbuatan belajarnya itu dengan satu sistem nilai dan tugas-tugas perkembangannya, maka ia akan cukup ulet menghadapi kesulitan-kesulitan, rintangan-rintangan dan situasi-situasi yang kurang menyenangkan. Motivasi dapat diaksentuasi dari sudut kebutuhan murid.

C. Hasil Pelajaran Adalah Kebulatan Pola Tingkah Laku
Apabila usaha murid telah menghasilkan pola tingkah laku yang dituju semula, proses belajar dapat dikatakan mencapai titik akhir smentara. Pola tingkah laku tersebut terlihat pada perbuatan reaksi dan sikap murid secara fisik maupun mental. Bersamaan dengan hasil utama itu terjadi bermacam-macam proses mengiring yang juga menghasilkan “tambahan” perubahan tingkah laku, sehingga akhirnya terdapat satu kesatuan yang menyeluruh. Hal ini menjelaskan bahwa hasil belajar itu tidak pernah terpisah-pisah. Hasil yang dicapai lebih kemudian akan mendapatkan tempat di dalam perbendaharaan pengetahuan murid, dan setiap penambahan akan mempengaruhi struktur pembendaharaan itu secara menyeluruhn lagi.

D. Murid Menghadapi Situasi Secara Pribadi
Tiap situasi belajar akan dihadapi secara utuh oleh orang yang belajar sebagai individu yang utuh pula. Dia tidak dapat melepaskan diri dari situasi lingkungannya dan diapun tidak mungkin dapat mengisolasi sebagian dari pribadinya. Karena itu perlu diberikan tempat yang cukup kepada pentingnya arti situasi itu bagi setiap pelajar secara pribadi. Setiap manusia mempunyai cara memandang pada setiap persoalan, dan tidak akan mungkin seluruhnya sama dengan cara memandang manusia lainnya. Manusia hanya akan memperlihatkan reaksi (kesenangan, kebencian, dan lain-lain) tertentu terhadap aspek hidup yang mempunyai makna tertentu baginya. Karena sangat sulit sekiranya munhkin untuk menanamkan satu sistem persepsi hidup yang homogeny dan absolute bagi setiap manusia.

E. Belajara Adalah Mengalami
Mengalami berarti menghayati sesuatu actual penghayatan mana akan menimbulkan respons-respons tertentu dari pihak murid. Pengalaman yang berupa pelajaran akan menghasilkan perubahan (pematangan, pendewasaan) pola tingkah laku, perubahan, didalam sistem nilai, di dalam perbendaharaan konsep-konsep (pengertian), serta di dalam kekayaan informasi.

Sebab itu tugas mengajar adalah membina rangkaian pengalaman yang dapat menjadi sumber pengetahuan dan keterampilan pelajar. Pengalaman tersebut tidak selalu dapat dilalui secara riil, sehingga kadang-kadang perlu diciptakan situasi “buatan”. Pengalaman jenis pertama pada umumnya lebih baik dari pada jenis kedua, tetapi hal ini tidak mutlak kedua-duanya melengkapi satu sama lain, dan efektifitasnya dapat dipertinggi melalui berbagai jalan. Bila tidak demikian, maka pengalaman-pengalaman itu mungkin sulit disebut pengalaman edukatif, perlu diperhatikan bahwa:
1. Pengalaman edukatif tertuju pada satu hasil yang akan dicapai oleh murid,
2. Pengalaman edukatif bersifat kontinu dan bersifat interaktif antara individu dengan lingkungan pengalaman itu,
3. Pengalaman edukatif membantu pendewasaan yang wajar pada pihak murid.

Beberapa Implikasi
Sudah jelas bahwa proses belajar tidak dapat semata-mata disamakan dengan menghafal, dan karenanya hasil pelajaran tidak dapat dievaluasi semata-mata atas dasar kemampuan reproduktif murid.
Lagi pula proses belajar tidak dapat dipisah-pisah peristiwanya. Fakta tidak dapat diajarkan tersendiri, keterampilan pun tidak dapat diajarkan bila dihubungkan dengan arti keterampilan itu dalam rangka yang lebih luas. Bila tidak, maka pelajar akan dihadapkan dengan sistem mengajar verbalistik. Bila telah disadari trujuan yang akan dicapai sangatlah penting bahwa guru dan (pelajar) melalui cara-cara mengajar dan (belajar) yang paling wajar untuk mencapai tujuan itu. Untuk setiap jenis tujuan, di dalam setiap situasi edukatif, terhadap setiap pelajar, dibutuhkan pemikiran yang matang mengenai metode yang akan dipakai oleh setiap guru.
Penilaian hasil usaha guru itu perlu mengingat kenyataan bahwa hasil setiap peristiwa belajar itu adalah menyeluruh, bersegi banyak dan kompleks.
Karena itu perlu diperhatikan untuk tidak mencampurkan baurkan peristiwa belajar dengan hasil belajar.
Untuk memperoleh pengertian mengenai kompleksnya proses belajar dan implikasinya bagi seorang guru, cukup kita melihat satu aspek saja ialah kenyataan adanya unsur emosi pada setiap manusia yang tidak mungkin ditiadakan sepanjang hayat manusia, termasuk apabila ia sedang dalam proses belajar.

Metodologik Adanya Unsur Emosi Dalam Proses Belajar
Dalam pendidikan, khususnya di bidang pengajaran, selalu terdapat soal-soal terhadap mana timbul perbedaan-perbedaan pendapat yang bertentangan. Salah satu dari soal yang merupakan dilema selama sekian lama ialah apakah pengajaran itu perlu memasukkan unsur emosi sebagai unsur pokok, ataukah perlu menyampingkannya, dengan semata-mata menekankan pada unsur rasio atau kekuatan penalaran. Hal ini sesuai denagn perbedaan pendapat yang terdapat dalam psikologi belajar, yakni apakah proses belajar itu dihambat ataukah dipercepat denagn adanya emosi.
Di satu pihak dapat dikemukakan pendirian yang pada umumnya tidak melihat faedahnya unsur emosi dalam proses belajar mengajar, karena menurut pendapat ini, proses kemampuan intelektual perlu dibedakan dan dipisahkan dari proses emosional. Bukan saja adanya unsur emosi tidak dibenarkan, tetapi juga ada kecenderungan kearah menekan unsur emosi itu. Sejak dalam abad pertengahan di Eropa nampak pengajaran-pengajaran formal dilakukan ditempat-tempat yang bersuasana tak beremosi, karena pengertian proses belajar adalah identik dengan kegiatan intelek, atau penggunaan daya kognitif.
Tradisi pengajaran di Indonesia tidak banyak bedanya dengan praktek abad-abad pertengahan itu. Memang golongan ini dapat menunjukkan bahwa kegagalan di sekolah, gangguan-gangguan yang tergolong abnormalitas dalam kategori psikologi perkembangan, tetapi juga golongan dalam bentuk frustasi, kemarahan, tekanan persaingan dan ketegangan-ketegangan dalam masa kritik, semuanya ini merupakan faktor pengganggu terhadap hasil akademik atau prestasi skolastik. Ditingkatan yang lebih lanjut, misalnya di Universitas ternyata bahwa ketegangan emosional ialah faktor yang menentukan prestasi skolastik para mahasiswa.
Di lain pihak, ada golongan yang berpendapat bahawa kegagalan guru-guru menjalankan tugas adalah karena mereka tak mampu menyadari dan mewujudkan prinsip bahwa prose belajar secara fundamental adalah proses kejiwaan yang sangat penuh dengan larutan emosi. Bagi golongan ini, belajar adalah satu kegiatan yang memerlukan segenap kehidupan seseorang, jadi bukan saja terbatas pada segi kognitif, tetapi juga segi afektif atau segi emosi. Proses belajar yang paling bersahaja sekalipun mengandung segala langkah yang berporos emosi, dimulai dari sejenis rasa tegang kegembiraan menghadapi kemungkinan sesuatu hasil (atau rasa tegang kecemasan menghadapi kemungkinan kegagalan), kesituasi kritik dalam menjatuhkan pilihan. Sampai pada waktu keredaan yang disertai dengan lega. Walupun mungkin pertentangan pendapat ini tidak terlalu menampak dalam praktek, dan lebih kurang terasa atau kurang nampak di Indonesia karena belum cukupnya cara-cara tertentu untuk mendalami soal ini serta membawanya ke dalam forum yang luas, tidaklah berarti bahwa soal ini tidak terdapat di dalam praktek. Dalam kesempatan ini kami akan mengemukakan beberapa penemuan dari bidang psikologi, dan mencoba menarik pelajaran yang berguna untuk menyempurnakan asas-asas didaktik, khususnya di bidang metedologi pengajaran.
Pada permulaan pergantian abad 20 ini, beberapa ahli sudah mulai menpercakapkan faktor emosi dalam proses belajar, yang umumnya mnyimpulkan pentingnya faktor tersebut. Malahan secar eksperimental telah dilakukan penyelidikan di bidang ini. Dikemukakan bahwa adanya unsur emosi yang berbentuk negatife pun (dalam hal ini hukuman) dapat mempertinggi prestasi belajar. Beberapa penyelidikan kemudian memperkuat dan memperhalus pendapat yang terdahulu dengan mengatakan bahwa bila kadar emosi melewati garis kritik, maka pengaruhnya akan berbalik menghambat proses belajar. Kemudian timbul bermacam-macam teori mengenai emosi, antara lain yang dikenal sebagai “activation theory” yang menunjukkan bahwa kehadiran emosi dalam kegiatan-kegiatan manusia adalah satu hal tak terelakan, justru karena emosi merupakan ukuran kegiatan suasana urat saraf terutama dari cerebal cortex. Juga hasil-hasil penyelidikan yang bersangkut paut dengan metodologi belajar mengajar akan kami perkatakan disini.
Pengamatan beberapa penyelidik pada cara anak kecil, hewan sera suku-suku primitive mneghadapi soal yang baru atau barang yang aneh, memberikan petunjuk akan adanya kenaikan dalam ketegangan emosional,terutama bila soal yang baru atau barang yang aneh itu tiba-tiba berubah di luar dugaan. Dalam saat-saat seperti ini dapat terjadi bahwa subyek malahan memperlihatkan reaksi impulsive yang tak terelakan, sehingga mengganggu usaha-usaha belajar yang positif. Karena pendapat-pendapat serupa ini, timbul persoalan sampai dimana emosi itu berdaya guna bagi proses belajar. Di satu pihak ada orang yang berpendapat bahwa ketegangan emosional itu berpengaruh negative bagi hasil pelajaran, misalnya menghambat kemampuan berfikir silogistik. Pendapat serupa ini banyak berkembang selama tahun-tahun 50-an. Begitu juga dalam 10 tahun terakhir ini. Dilain pihak, dalam waktu yang hampir sama, dapat pula ditemukan bukti-bukti yang membenarkan pengaruh unsur emosi pada proses belajar.
Tak perlu kiranya kami paparkan lebih lanjut soal ini, cukup di simpulkan bahwa pada umumnya, hasil-hasil penyelidikan menunjukkan adanya pengaruh detrimental atau yang melumpuhkan dengan adanya ketegangan emosional pada proses belajar, bila ketegangan itu mencapai taraf kritik tertentu. Baiklah kita pusatkan saja perhatian pada nilai-nilai hasil penyelidikan itu bagi seorang guru.
Karena telah diketahui adanya kenyataan bahwa bila seorang murid menghadapi masalah-masalah baru yang harus di pecahkan akan timbul kadar emosi pada dirinya, yang kemudian dapat mempengaruhi hasil proses belajarnya, maka timbul pertanyaan sampai dimanakah seorang guru perlu mengisabkan unsur emosi itu di dalam metode yang dipakainnya. Teori motivasi telah menunjukkan bahwa motif-motif itu, baik instrinsik maupun ekstrinsik, perlu digunakan untuk menggerakkan seseorang. Tetapi motif-motif itu dapat dipergunakan secara positif, dapat pula secara negatife, misalnya dalam bentuk hukuman, “santic” deprivasi dan lain-lain cara pendekatan yang sejenis. Yang terakhir ini menjadi persoalan yang lebih khusus, sebab bila ini dapat dibenarkan, maka pertanyaan selanjutnya yang akan timbul adalah sampai dimanakah metode itu (baik dalam fase perumusan tujuan, dalam fase pelaksanaan, maupun dalam fase evaluasi metode itu) perlu menimbulkan ketegangan emosional atau frustasi yang bertujuan sebagai pengaruh yang memberi daya guna. Pengalaman-pengalaman kami sendiri dalam menyelidiki berbagai pendekatan yang telah dilakukan di bidang ini hanya dapat sampai pada satu anggapan yang umum, yakni bersifat “negatife”senantiasa mungkin ada di dalam proses belajar sebab dalam proses belajar itu sendiri terdapat tujuan belajar, sedangkan di dalam usaha mencap[ai tujuan itu senantiasa terdapat dua kemungkinan, yakni berhasil (positif) atau kurang/tidak berhasil (negatife). Sebab itu kami simpulkan pula secra umum bahwa bila motif yang negatife perlu dipergunakan sebagai unsur dalam metode yang dipakai, maka motif dapat secara potensial di terima dan dipahami oleh pelajar.
Secara konkret dapat dijelaskan demikian. Bila pelajar menghadapi satu soal, maka soal itu dihadapinya tidak semata-mata dari sudut “pemikiran” (dalil apa dan bagaimana mempergunakannya untuk memecahkan soal itu), tetapi juga dari sudut “perasaan” (konsep diri, ukuran kemampuan, tingkat aspirasi, harapan-harapan prestasi).
Apakah artinya bila pada pelajar kita berikan soal-soal yang berada di luar kemampuan potensialnya untuk dipecahkan?
Secara metodologik ini berarti:
1. Bahwa kita menempatkan tujuan khusus intermediary yang tidak realistic,
2. Bahwa kita mempergunakan bahan dan materi (dalam arti yang luas) yang tidak wajar.
Karena telah diketahui adanya kenyataan bahwa bila seorang murid menghadapi masalah-masalah baru yang harus dipecahkan akan timbul kadar emosi pada dirinya, yang kemudian dapat mempengaruhi hasil proses belajarnya, maka timbul pertanyaan sampai dimanakah seorang guru perlu mengisabkan unsur emosi itu di dalam metode yang dipakainya. Teori motivasi telah menunjukkan bahwa motif-motif itu, baik instrinsik maupun ekstrinsik, perlu digunakan untuk menggerakkan seseorang. Tetapi motif-motif itu dapat dipergunakan secara positif, dapat pula secara negatife, misalnya dalam bentuk hukuman, “santic” deprivasi dan lain-lain cara pendekatan yang sejenis. Yang terakhir ini menjadi persoalan yang lebih khusus, sebab bila ini dapat dibenarkan, maka pertanyaan selanjutnya yang akan timbul adalah sampai dimanakah metode itu (baik dalam fase perumusan tujuan, dalam fase pelaksanaan, maupun dalam fase evaluasi metode itu) perlu menimbulkan ketegangan emosional atau frustasi yang bertujuan sebagai pengaruh yang memberi daya guna.
Pengalaman-pengalaman kami sendiri dalam menyelidiki berbagai pendekatan yang telah dilakukan di bidang ini hanya dapat sampai pada satu anggapan yang umum, yakni bersifat “negatife”senantiasa mungkin ada di dalam proses belajar sebab dalam proses belajar itu sendiri terdapat tujuan belajar, sedangkan di dalam usaha mencap[ai tujuan itu senantiasa terdapat dua kemungkinan, yakni berhasil (positif) atau kurang/tidak berhasil (negatife). Sebab itu kami simpulkan pula secra umum bahwa bila motif yang negatife perlu dipergunakan sebagai unsur dalam metode yang dipakai, maka motif dapat secara potensial di terima dan dipahami oleh pelajar.
Metode yang dipakai di sekolah-sekolah kita umumnya adalah metode otoriter, metode yang mudah membunuh tunas-tunas pada para pelajar untuk hidup sebagai pribadi-pribadi yang gembira menghadapi pelajaran.
Secara konkret dapat dijelaskan demikian. Bila pelajar menghadapi satu soal, maka soal itu dihadapinya tidak semata-mata dari sudut “pemikiran” (dalil apa dan bagaimana mempergunakannya untuk memecahkan soal itu), tetapi juga dari sudut “perasaan” (konsep diri, ukuran kemampuan, tingkat aspirasi, harapan-harapan prestasi). Kenyataan dan kebenaran yang begitu jelas, yang masih terlalu seringkali dilupakan adalah metodoligi pengajaran faktor manusia yang bertumbuh. Kegagalan guru yang memahami manusia yang tumbuh ditinjau dari sudut kebutuhan-kebutuhannya akan menimbulkan berbagai kesulitan di dalam perkembangan dan kesehatan pribadi murid.

Peristiwa Belajar
Belajar dapat dipandang sebagai hasil, dimana guru terutama melihat bentuk terakhir dari berbagai pengalaman interaksi edukatif. Yang diperhatikan adalah nampaknya sifat dan tanda-tanda tingkah laku yang dipelajari. Dari situlah timbulnya klasifikasi hasil yang perlu dimiliki oleh seorang murid, seperti hasil dalam bentuk keterampilan, dalam bentuk konsep-konsep, dan dalam bentuk sikap.
Pada permulaan pergantian abad 20 ini, beberapa ahli sudah mulai menpercakapkan faktor emosi dalam proses belajar, yang umumnya mnyimpulkan pentingnya faktor tersebut. Malahan secar eksperimental telah dilakukan penyelidikan di bidang ini. Dikemukakan bahwa adanya unsur emosi yang berbentuk negatife pun (dalam hal ini hukuman) dapat mempertinggi prestasi belajar. Beberapa penyelidikan kemudian memperkuat dan memperhalus pendapat yang terdahulu dengan mengatakan bahwa bila kadar emosi melewati garis kritik, maka pengaruhnya akan berbalik menghambat proses belajar. Kemudian timbul bermacam-macam teori mengenai emosi, antara lain yang dikenal sebagai “activation theory” yang menunjukkan bahwa kehadiran emosi dalam kegiatan-kegiatan manusia adalah satu hal tak terelakan, justru karena emosi merupakan ukuran kegiatan suasana urat saraf terutama dari cerebal cortex. Juga hasil-hasil penyelidikan yang bersangkut paut dengan metodologi belajar mengajar akan kami perkatakan disini.
Pengamatan beberapa penyelidik pada cara anak kecil, hewan sera suku-suku primitive mneghadapi soal yang baru atau barang yang aneh, memberikan petunjuk akan adanya kenaikan dalam ketegangan emosional,terutama bila soal yang baru atau barang yang aneh itu tiba-tiba berubah di luar dugaan. Dalam saat-saat seperti ini dapat terjadi bahwa subyek malahan memperlihatkan reaksi impulsive yang tak terelakan, sehingga mengganggu usaha-usaha belajar yang positif. Karena pendapat-pendapat serupa ini, timbul persoalan sampai dimana emosi itu berdaya guna bagi proses belajar. Di satu pihak ada orang yang berpendapat bahwa ketegangan emosional itu berpengaruh negative bagi hasil pelajaran, misalnya menghambat kemampuan berfikir silogistik. Pendapat serupa ini banyak berkembang selama tahun-tahun 50-an. Begitu juga dalam 10 tahun terakhir ini. Dilain pihak, dalam waktu yang hampir sama, dapat pula ditemukan bukti-bukti yang membenarkan pengaruh unsur emosi pada proses belajar.
Tak perlu kiranya kami paparkan lebih lanjut soal ini, cukup di simpulkan bahwa pada umumnya, hasil-hasil penyelidikan menunjukkan adanya pengaruh detrimental atau yang melumpuhkan dengan adanya ketegangan emosional pada proses belajar, bila ketegangan itu mencapai taraf kritik tertentu. Baiklah kita pusatkan saja perhatian pada nilai-nilai hasil penyelidikan itu bagi seorang guru.
Pertama dilihat bahwa murid itu sendiri harus menjadi unsur dari situasi, dalam arti bahwa unsur (murid) tersebut menerima rangsangan dari lingkungannya, yang dapat menimbulkan suatu tingkat kesadaran kebutuhan. Unsur kedua adalah tujuan yang apabila akan tercapai akan menimbulkan rasa keberhasilan dari murid. Unsur ketiga adalah motif yang merupakan daya penggerak untuk berhasil, murid yang mempunyai motivasi adalah murid yang telah memiliki satu keadaan dan kesiapan mental seperlunya untuk menggerakkan dirinya ke dalam kegiatan yang bertujuan.
Dalam pendidikan, khususnya di bidang pengajaran, selalu terdapat soal-soal terhadap mana timbul perbedaan-perbedaan pendapat yang bertentangan. Salah satu dari soal yang merupakan dilema selama sekian lama ialah apakah pengajaran itu perlu memasukkan unsur emosi sebagai unsur pokok, ataukah perlu menyampingkannya, dengan semata-mata menekankan pada unsur rasio atau kekuatan penalaran. Hal ini sesuai denagn perbedaan pendapat yang terdapat dalam psikologi belajar, yakni apakah proses belajar itu dihambat ataukah dipercepat denagn adanya emosi.
Di satu pihak dapat dikemukakan pendirian yang pada umumnya tidak melihat faedahnya unsur emosi dalam proses belajar mengajar, karena menurut pendapat ini, proses kemampuan intelektual perlu dibedakan dan dipisahkan dari proses emosional. Bukan saja adanya unsur emosi tidak dibenarkan, tetapi juga ada kecenderungan kearah menekan unsur emosi itu. Sejak dalam abad pertengahan di Eropa nampak pengajaran-pengajaran formal dilakukan ditempat-tempat yang bersuasana tak beremosi, karena pengertian proses belajar adalah identik dengan kegiatan intelek, atau penggunaan daya kognitif.
Gangguan visual di sekolah-sekolah diperkirakan sekitar dua puluh lima persen dari murid-murid biasa, yang biasanya tidak mudah diketahui karna tidak nyata karna kebutaan. diantara yang perlu diperhatikan adalah buta warna, hipermetrokia (mata jauh), myopia (mata dekat), astigmatismus (kekaburan penglihatan karna keadaan lesa mata), dan strabismus (mata juling). Gangguan fisual ynag tak nampak sering kali disertai dengan gejala-gejala pusing, mual, sakit kepala, malas, danj kehilangan konsentrasi pada pelajaran.
Sering kali murid harus mencobakan beberapa respon. Dari jumlahg respon itu nanti ada yang dipakai terus dan diperkuat, ada pula yang diabaikan saja dan disisihkan seterusnya. Usaha yang tidak membawa hasil akan menimbulkkan prustasi atau kejiwaan yang bersifat dissonan (bernada sumbang), kadang untuk sementara atau jangkla panjang.

Kesulitan-Kesulitan Umum
Kesulitan-kesulotan yang ada pada umumnya dihadapi oleh orang yang belajar adalah tidak cukupnya pengetahuan mereka mengenai cara-cara belajar. Tanpa menghilangkan kemungkina kesulitan belajar yang disebabkan oleh suatu atau oleh perpaduan beberapa faktor yang telah disebut terdahulu, salah satu bidang yang ternyatas perlu diperhatikan guru agar interaksi dapat benar-benar berjalan dengan lancar adalah : menanamkan kebiasaan pada murid-murid agar mereka memilki keterampilan untuk belajar.
Cara-cara mengajar harus dapat tumbuh menjadi kebiasaan yang fungsional, dan untuk menumbuhkan sampai pada taraf itu, guru harus membingbing murid-muridnya menguasai keterampilan-keterampilan seperti membaca buku, mempergunakan kamus dan peta, teknik bertukar pikiran, membuat catatan, dan lain sebagainya.
Pertama dilihat bahwa murid itu sendiri harus menjadi unsur dari situasi, dalam arti bahwa unsur (murid) tersebut menerima rangsangan dari lingkungannya, yang dapat menimbulkan suatu tingkat kesadaran kebutuhan. Unsur kedua adalah tujuan yang apabila tercapai akan menimbulkan rasa keberhasilan dari murid. Unsur ketiga adalah motif yang merupakan daya penggerak untuk berhasil, murid yang mempunyai motivasi adalah murid yang telah memiliki satu keadaan dan kesiapan mental seperlunya untuk menggerakkan dirinya ke dalam kegiatan yang bertujuan.
Dalam pendidikan, khususnya di bidang pengajaran, selalu terdapat soal-soal terhadap mana rimbul perbedaan-perbedaan pendapat yang bertentangan. Salah satu dari soal yang merupakan dilema selama sekian lama ialah apakah pengajaran itu perlu memasukkan unsur emosi sebagai unsur pokok, ataukah perlu menyampingkannya, dengan semata-mata menekankan pada unsur rasio atau kekuatan penalaran. Cara-cara mengajar harus dapat tumbuh menjadi kebiasaan yang fungsional, dan untuk menumbuhkan sampai pada taraf itu, guru harus membimbing murid-muridnya menguasai keterampilan-keterampilan seperti membaca buku, mempergunakan kamus dan peta, teknik bertukar pikiran, membuat catatan, dan lain sebagainya. Penelitian yang banyak kami lakukan memberikan kesimpulan bahwa sedikitnya terdapat delapan bidang belajar yang menimbulkan persoalan para mahasiswa. Bidang itu adalah:
1. Bagaimana mengikuti kuliah,
2. Bagaimana menelaah buku,
3. Bagaimana membuat catatan,
4. Bagaimana belajar sendiri,
5. Bagaimana belajar dalam regu,
6. Bagaimana memakai perpustakaan,
7. Bagaimana mengarang ilmiah,
8. Bagaimana menghadapi ujian.
Bukan tidak mungkin bahwa hasil interaksi edukatif akan dilipat gandakan apabila pada murid telah terdapat alat-alat yang fungsional untuk membantu mereka mengolah dan mengkonsolidasikan pengalaman-pengalaman edukatif mereka. Baikalh disadari sekali lagi bahwa juga dalam hal ini diperhitungkan adanya perbedaan-perbedaan individual dikalangan anak didik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar